Antara Kiamat Sudah Dekat dan Ayat-ayat Cinta













Antara Kiamat Sudah Dekat dan Ayat-ayat Cinta
Oleh: Gunawan

Kiamat sudah dekat adalah sebuah judul film yang ditayangkan stasiun televisi swasta begitu menghibur dengan meninggalkan kesan yang mendalam. Film ini sendiri menceritakan tentang seorang pemuda yang sekuler dengan berprofesi sebagai musisi pada sebuah band rock and roll yang jatuh cinta pada seorang gadis solehah dari anak seorang haji. Masalah dimulai ketika sang pemuda bertemu secara tidak sengaja pada seorang gadis cantik berjilbab anak seorang pak haji. Pada pandangan pertamanya itu ia langsung jatuh cinta. Berbagai cara pun dilakukan sang pemuda untuk bertemu sang gadis.

Lalu sampai pada suatu ketika pak haji mengajukan beberapa pertanyaan yang ditutup dengan beberapa syarat yang berhubungan dengan agama pada si pemuda yang sekuler tersebut. Karena cintanya pada si gadis. Si pemuda menyanggupi syarat tersebut. Puncak dari masalah ini muncul ketika pak haji mengajukan lagi syarat terakhir yaitu menguasai ilmu ikhlas. Si pemuda yang awam dan buta agama itu ternyata menyanggupi meskipun ia takut apakah ia bisa menguasai ilmu ikhlas tersebut. Kelucuan pun terselip disela-sela pencarian apa yang dimaksud ilmu ikhlas tersebut. Sampai pada akhirnya si pemuda menemukan kesadaran dan jawaban dari kegelisahannya tentang ilmu ikhlas yang diajukan pak haji. Dan tanpa disangkanya pak haji memilihnya sebagai menantunya sebagai calon suami dari anak gadisnya yang sebelumnya siap dijodohkan dengan seorang pemuda anak kerabatnya yang sedang sekolah S-2 di mesir.

Setelah menonton film ini penulis menyimpan kesan bahwa untuk mendapatkan sesuatu memang harus berjuang dengan penuh kesabaran dan ketekunan. Tapi perjuangan tadi harus diimbangi juga dengan ilmu ikhlas, sama seperti yang diajukan pak haji tadi. Tanpa ikhlas masalah hanya diselesaikan dengan ambisi dan kepentingan pribadi semata. Tanpa sadar bahwa segala apa yang kita perebutkan didunia yang fana ini hanyalah milik Allah SWT. Mungkin itulah cinta yang sesungguhnya dari si pemuda terhadap anak pak haji. Bahwa ia mencintai dengan dasar keikhlasan.

Lalu apa hubungannya dengan kita? secara realitas kondisi bangsa ini semakin terpuruk pada tingkat yang lebih parah. Kongkritnya keterpurukan terjadi hampir semua bidang kehidupan, pada sektor ekonomi, politik, sosial dan moral, agama dan budaya. Kondisinya masih tampak jelas terlihat pada sistem birokrasi yang bobrok dan masih bertele-tele, pemimpin-pemimpin negeri yang tidak berjuang atas hati dan para pengambil kebijakan yang lamban dan berbelit-belit. Kehidupan sosial yang parah karena borok pengangguran semakin menganga. Hal mengakibatkan patologi sosial pada masyarakat terutama kelas bawah, seperti angka kriminalitas meningkat, penyimpangan seksual dalam keluarga atau lingkungan, anak dibawah umur yang turun ke jalan dan lain sebagainya.

Repotnya, pemahaman agama yang kurang dan kurangnya peran lembaga-lembaga agama dimasyarakat tidak bisa menjadi penyejuk bagi dahaga jiwa yang kering dimasyakat. Menurut saya, agama masih menjadi dogma dimasyakarat luas. Akhirnya yang terjadi praktek-praktek KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) semakin luas dan mengakar. Tayangan-tayangan ditelevisi atau media cetak yang mungkin perlu banyak dikaji ulang hingga tidak mengakibatkan pada bentuk budaya liberal seperti tayangan mistik dan acara smack down (yang mengakibatkan banyak jatuh korban), apakah masih layak dikonsumsi? Lalu tanpa sadar negeri ini dihantam bencana alam bertubi-tubi seperti tsunami di aceh, gempa bumi, gunung merapi yang meletus, dan Lumpur panas yang terus meluap-luap dan semakin melebar bahkan memakan korban di Porong, Sidoarjo.

Apakah ini akhir dari segalanya? Apakah akan ada skenario Tuhan yang lebih mendebarkan lagi? Ataukah ini azab-Nya yang sudah diturunkan akibat kerusakan manusia? Lalu berujung pada, apakah kiamat sudah dekat? Kalo kata pak haji di film ini dia menjawab, “bahwa kiamat emang makin deket aje!”

***

Belajar soal ilmu ikhlas sangat menggugah kesadaran saya, terutama soal hidup pribadi saya. Dari pelajaran ilmu ikhlas yang sederhana ini mengandung arti yang begitu dalam. Saya jadi ingat setelah membaca buku novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburahman tentang seorang tokoh sentral yang bernama Fahri. Dalam hidupnya dia adalah sosok yang sangat ideal. Fahri adalah pribadi yang aktif, visioner, kosisten, jujur, bertanggung jawab, rendah hati, serta memiliki pengetahuan agama yang luas hingga membuat ia disegani oleh teman-temannya dan dicintai para wanita cantik solehah yang dekat dengannya serta juga para guru-guru mengajinya.

Hidupnya begitu terprogram dan sangat sibuk. Dalam cerita itu, maria terperanjat melihat karton besar yang ditempel ditembok kamar Fahri ketika ia terbaring sakit karena kelelahan akibat jadwal kegiatannya yang begitu padat. Ia berkata, “Inikah peta hidup kamu fahri? begitu banyak target-target jangka pendek maupun panjang yang kau buat. 2 tahun kamu selesai S2. 4 tahun kamu lulus S3. tahun depan targetmu menikah. Dan jadwal sehari-hari lainnya yang kamu buat begitu terperinci.” Dalam pembaringannya fahri berkata,” iya itu peta hidupku kedepan baik 5 atau 10 tahun mendatang. Setiap orang harus memiliki visi agar dia focus dalam hidupnya.” Ia mengutip salah satu ayat al-quran, “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali dia sendiri yang mengubah nasibnya”. Maria, membalas “bukankah lebih enak bahwa hidup dibuat mengalir.” Fahri pun menjawab, manusia akan membuat kemajuan kalau ia memiliki cita-cita kedepan. Seperti kalimat bijak dari barat, “seseorang dengan tujuan jelas akan membuat kemajuan walaupun jalannya sulit. Seseorang tanpa tujuan yang jelas tidak akan membuat kemajuan meskipun berada dijalan yang mulus. Jadi, aku mau jadi apa, dengan cara apa, dan kapan dilakukan, aku sendiri yang menentukan nasibku. Aku berusaha melakukan yang terbaik terhadap cita-cita yang ingin aku capai dan keputusannya aku serahkan kepada Allah semata.”

Maria pun terharu menitikan air mata mendengarnya, ia mendapatkan pelajaran berharga hari itu. Tampak jelas ilmu ikhlas merasuk dalam pribadi seorang fahri. Akankah ilmu ikhlas bisa merasuk juga pada jiwa-jiwa masyarakat kita (termasuk saya) yang kering dalam hidup yang serba kapitalis, konsumtif serta glamour ini. Saya pikir bisa, asal kita mau mempelajari dan memahami hakikat dari keikhlasan itu sendiri karena keikhlasan melahirkan kejujuran, tanggung jawab, kosisten, dan jiwa yang rendah hati. Inya Allah…, semoga saja semoga negeri ini bisa bangkit kembali, AMIN!

Gunawan
Diselesaikan juga di Warung buncit, 3 Desember 2006 jam 23.35
Penikmat film kiamat sudah dekat garapan dedy mizwar dan buku ayat-ayat cinta karya Habiburrahman El Shirazy yang baru selesai dibaca.

Mereka Ada Di Jalan
Lagu Iwan Fals ( Album Belum Ada Judul 1992 )
Pukul tiga sore hari Di jalan yang belum jadi
Aku melihat anak anak kecil
Telanjang dada telanjang kakiAsik mengejar bola

Kuhampiri kudekati
Lalu duduk di tanah yang lebih tinggi
Agar lebih jelas lihat dan rasakan
Semangat mereka keringat merekaDalam memenangkan permainan

Ramang kecil Kadir kecil Menggiring bola di jalanan
Ruli kecil Riki kecil Lika liku jebolkan gawang

Tiang gawang puing puing
Sisa bangunan yang tergusur
Tanah lapang hanya tinggal cerita
Yang nampak mata hanyaPara pembual saja

Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepak bola menjadi barang yang mahal
Milik mereka yang punya uang saja
Dan sementara kita disini di jalan ini

Bola kaki dari plastik Ditendang mampir ke langit
Pecahlah sudah kaca jendela hati
Sebab terkena bolaTentu bukan salah mereka

Roni kecil Heri kecil Gaya samba sodorkan bola
Nobon kecil Juki kecil Jegal lawan amankan gawang
Cipto kecil Suwadi kecil Tak tik tik tak terinjak paku
Yudo kecil Paslah kecil Terkam bola jatuh menangis...
***




Gambar 1.
Photo by kiki

Permainan ini sudah lama sekali ada di Indonesia, sejak jaman Belanda, di kampung-kampung di kota-kota besar, orang-orang terutama laki-laki begitu menggandrungi permainan ini. Pada tahun 1930-an PSSI (persatuan sepak seluruh Indonesia) berdiri, sebagai wadah yang menaungi dan mengurus dunia sepak Indonesia yang pernah berhasil membawa wajah Indonesia kepada Dunia bahwa Sepak Bola juga digandrungi di negeri ini. Lapangan Ikada (sekarang Monas) sebagai saksi bisu bahwa beberapa klub di berbagai Negara pernah berlaga disana. Aku tidak tahu apakah jaman kerajaan lampau sepak bola telah popular di masing-masing daerah saat itu, tidak perduli, yang jelas ketika aku kecil aku mulai jatuh cinta dengan permainan ini.

Aku masih ingat masa kecilku saat itu, hampir setiap hari aku bersama teman sebaya bermain sepak bola di tanah pekuburan Blok P (sekarang menjadi Kantor Wali Kota Jakarta Selatan) dekat rumah. Lingkungan kami tinggal memang tidak memiliki tanah lapang, yang ada hanyalah tanah sepetak dari halaman tanah pekuburan Kristen. Aku sering bermain bersama teman kecilku di kuburan itu. Kuburan Kristen didekat rumahku memang kuburan yang cukup nyaman untuk bermain, bahkan bisa dibilang layaknya taman. Lingkungannya bersih karena sering dibersihkan oleh tukang bersih kuburan. Kuburannya banyak yang disemen atau dibentuk seperti rumah dengan halaman yang berumput. makanya kami betah bermain disana. Petak umpet, dor nama, petasan, layangan, tembak-tembakan, dan sepak bola. Tidak ada rasa takut sedikit pun dalam diriku saat itu. Mungkin karena sudah biasa. Tapi sejak menonton film-film Suzanna rasa kecut mulai hinggap kala malam tiba bila melewati kuburan itu, sial!

Saat itu tahun 1990-an, aku duduk di kelas 4 sekolah dasar. Tubuh sedang lincahnya untuk bermain dan berlari. Disekolah bermain galasin, dampu, benteng, batu tujuh, gundu (kelereng) juga sepak bola plastik. Menjelang bulan puasa, biasanya permainan fisik berkurang mengingat aku muslim yang sedang belajar berpuasa. Pelariannya adalah membeli mainan atau komik petruk dari abang-abang tukang mainan yang suka berkumpul di depan gerbang sekolah. Mainan atau komik itu aku beli dari hasil uang jajan yang aku kumpulkan setiap hari. Uang jajan Rp. 300,- perak dari ibu, aku sisihkan Rp. 200,- dan Rp. 100,- untuk jajan. Saat itu Rp. 50,- rupiah masih bisa membeli tempe goreng ukuran besar dengan bumbu saus botol tomat, tinggal sisanya membeli segelas es limun.

***
Mengingat tentang sepak bola di sekolah dasar saat itu menarik juga, bola plastik yang dibawa salah seorang teman kami mainkan bersama-sama. Tidak perduli dengan halaman sekolah yang kecil, resikonya adalah tembok sekolah banyak meninggalkan bekas bola dan keadaan semakin gaduh kala bola mengenai tembok ataupun bola masuk ke gawang. Pada akhirnya Pak Wardjo, wali kelasku di SD Pulo 08 Petang Jakarta, datang mengampiri dengan tenangnya. Meminta bola plastik yang dimainkan teman-teman, salah satu teman memberi bola yang dimintanya. Ketika bola dipegangnya, dari balik saku baju dikeluarkan pisau lipat ala McGyver, lalu, Jusssss....! bola dibelah dua. Kami mengerti maksudnya, dan cuma senyum kecut menatapnya. Saat itu aku telah menginjak kelas 6 SD, dimana Iwan Karo-karo, Robby Darwis sedang aktif membela klubnya masing-masing di Liga Indonesia.

Tapi dari kejadian itu tidak membuat kami menjadi trauma bahkan justru cinta. Pulang sekolah, sore hari, aku bersama teman lingkungan rumah berkumpul, salah satu teman membeli bola plastik di warung kelontong dari hasil patungan uang jajan kami. Kami berangkat menuju tanah lapang sebuah halaman kuburan Kristen. Tanah lapang itu kami rombak menjadi lapangan sepak bola. Kami buatkan gawang, kerja bakti membersihkan lapangan dari batu dan beling kaca, serta kami buatkan garis lapangan, yang sulit adalah sebuah pohon besar berada dilapangan dekat gawang. Jadi lucunya, kalau membawa bola mendekati gawang lawan harus berputar dulu mengitari pohon. Tapi akhirnya lama-lama pohon itu menyerah, beberapa lama kemudian pohon penghalang itu sudah tidak ada lagi. Kasian juga dia, habitat hidupnya tersingkir. Tapi kami malah makin giat bermain bola disana. Tidak perduli dengan cuaca cerah ataupun hujan lebat. Kami tetap bermain, bahkan semakin seru. Penghenti waktunya adalah azan magrib. Sudah waktunya pulang, sisanya tinggal dimarahi ibu habis-habisan karena baju dan celana kami begitu kotor. Akhirnya aku dan adikku dihukum mencuci sendiri baju yang kotor tersebut. Saat itu aku sudah menginjak di bangku SMP.

Waktu terus berjalan, permainan malah dibuat seru dengan adanya taruhan. Tapi bukan uang layaknya penjudi, hanya hadiah berupa, “siapa tim yang kalah harus membeli 2 liter minuman coca cola atau fanta dengan batu es yang akan kami minum sama-sama”, hanya untuk menambah semangat. Terbukti, permainan kami semakin bergairah. Bahkan saking bergairahnya, kami hampir mau berseteru dengan kampung sebelah hanya karena berebut tanah lapang. Tapi karena merasa punya etika, ego coba ditahan. Waktu bermain dibagi menjadi dua. Dalam seminggu kedua kampung membuat jadwal bermain, yang penting hobi terus tersalurkan.

***
Tahun 1995 aku menginjak bangku SMU, usiaku 17 tahun. Saat itu aku tergolong tua untuk ukuran teman sebayaku. Maklum, orang tua jaman dulu dikampung baru menyekolahkan anaknya pada usia 7 atau 8 tahun di bangku sekolah dasar. Anehnya, pihak sekolah membolehkan calon muridnya belajar disekolahnya dengan syarat: “kalau tanganmu dapat menyentuh telinga sendiri melewati kepala, kamu baru bisa sekolah”. Sebuah kepercayaan yang tidak masuk akal. Apa hal itu dialami oleh kalian? Aku yakin saat ini peraturan itu sudah tidak berlaku.

***
Masa SMU memang masa yang paling menggairahkan. Pertumbuhan fisik, reaki kimia dalam tubuh, diikuti perubahan suara dari tenor menjadi bass, semua terjadi secara alamiah dan kodrat yang patut disyukuri. Perubahan lingkungan baru dan pertemanan merubah cara pandangku dalam menjalani proses hidup yang masih labil. Semua adalah teka teki atau puzzle yang musti dijalani tanpa harus dipecahkan, dan sepak bola menjadi penyambung kehidupanku yang tidak pernah lepas hingga kini.

Beruntungnya aku duduk dikelas satu yang memiliki banyak teman dengan hobi yang sama: sepak bola. Dimulai dengan saling membela klub dunia baik liga Inggris, Italy atau Jerman hingga latihan bola bersama di tanah lapang kosong daerah elit Pondok Indah sampai Bintaro. Ternyata virus ini juga menyebar pada kelas-kelas yang lain. Kami saling beradu laga dengan kelas-kelas yang lain. Bahkan disekolah diadakan kompetisi sepak bola setiap jam istirahat. Tidak sia-sia, tim kami selalu menang. Kenangan itu masih kuingat saat ini.

***
Kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung adalah pengalaman puncak bagi orang yang keluarganya hanya berpendapatan pas-pasan macam diriku. Setiap ivent olahraga aku selalu terlibat didalamnya. Baik menjadi panitia logistik atau turut serta berlaga. Lucunya, dikampusku kami membentuk tim dengan nama yang aneh-aneh: milisi pletok, muka jelekus, semut-semut merah yang berbaris di dinding, peredam kejut (nama lain dari shock breaker yang terdapat di kendaraan bermotor, red), meong, topi miring, dan masih banyak lagi. Sementara timku bernama “breyek” dengan alasan layaknya humas klub profesional, “kami nggak pake teknik skill, setiap ada bola, seluruh pemain langsung breyek (kumpul berebut bola, kaya ayam dikasih makan!)”. Dalam pertandingan ini, seluruh harga diri dipertaruhkan karena ini adalah pertarungan laga se-fakultas. Buktinya, kami kalah dan harga diri cuma mitos, yang penting adalah berapa harga nasi sepiring di warung itu, di restoran ini hehe, maklum anak kost.

***
Fiuh, nggak nyangka melamun soal bola mulai dari kecil sampai tua segini panjangnya. Toh, juga saat ini aku bukan menjadi pemain sepak bola professional layaknya Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwiyulianto, atau sekaliber kelas dunia seperti David Beckam atau si “tonggos” Ronaldinhio. Hanya hobi masih mengalir di jiwa (cieh..), atau alasan lain, “olahraga dong biar nggak cepat terserang osteoporosis..!,” dan aku masih menekuni saat ini dengan bermain FUTSAL. Bravo sepak bola Indonesia, semangat! Kapan berlaga di Piala Dunia? (Au ah gelap…).

Hedy, blogger bola di www.Sekadarblog.com,BOLANOVA.COM

pernah menulis dalam blognya supaya orang-orang berhenti menyamakan timnas Indonesia dengan PSSI.

PSSI Bukan Timnas

Mestinya pencerahan datang dari media massa. Tapi Koran Tempo hari Minggu (25/5) justru ikut-ikutan keliru. Saya nggak kenal pak Toriq Hadad yang menulis rubrik “Cari Angin” itu. Saya menebak pak Toriq itu dari angkatan lama. Tapi Ndoro pasti kenal. :D

Yang main lawan Bayern Muenchen lalu bukan PSSI, tapi timnas Indonesia. PSSI cuma pengurus sepakbola Indonesia yang nggak niat becus pula.

Stop menyamakan timnas Indonesia dengan PSSI!!!

Nah, ternyata, gaungnya hanya nyangkut di ranah internet saja, tidak sampai ke media massa yang bersangkutan atau yang lain. Salah satu media massa papan atas ada juga yang ikut-ikutan keliru. Kok bisa?


Salah satu media massa yang ikut-ikutan keliru adalah Tabloid Nova. Dalam sebuah artikel yang masih hangat, tabloid Nova menuliskan kalau Anak-anak Ahmad Dani ingin jadi pemain PSSI.

Dhani : Anak-Anak Ingin Jadi Pemain PSSI

Ahmad Dhani mendidik anaknya dengan terminologi “belajar.” Ia mengaku tak akan yang menelantarkan pendidikan buah hatinya.
Salah satu yang diajarkan Dhani kepada anak-anaknya adalah bermain sepakbola. “Anak-anak mau jadi pemain PSSI. Sebagai orangtua, saya harus memfasilitasi itu,” jelasnya.

Dhani menganggap bermain bola merupakan bagian dari pelajaran. “Siapa bilang bermain bola tidak pendidikan. Bermain bola itu juga belajar. Itu kalau kita berpegang kepada terminologi ayo belajar, bukan ayo sekolah,” tuturnya.

Pemain PSSI yang seperti apa? Pemain bola yang dibawah asuhan PSSI, atau “pemain” di dalam manajemen PSSI yang sangat carut marut plus kotor plus penuh korupsi?

Ada dua kemungkinan soal ini, memang Tabloid Nova segan mengoreksi pernyataan Ahmad Dhani, agar Ahmad Dhani terkesan goblok, atau memang jurnalis dari Tabloid Nova tidak bisa membedakan antara PSSI dengan Timnas Indonesia.

Kalau seperti ini, sudah saatnya para jurnalis tabloid Nova untuk melayangkan surat kepada kami, tim dari Bolanova, supaya diberikan pelatihan menulis tentang bola :)

Pergantian Pengurus PSSI

Kongres PSSI yang dilaksanakan di Malang kali ini harus dipergunakan sebaik mungkin. Jangan hanya menjadi formalitas belaka, seperti apa yang dilakukan sebelumnya. Pergunakan kongres ini demi satu tujuan, yakni menyelamatkan sepak bola Indonesia dari keterpurukan beberapa tahun belakangan ini, yang notabene mungkin sejarah terburuk selama PSSI berdiri.

Mungkin jika saya ditanya tentang apa yang diharapkan dari kongres ini demi kemajuan sepak bola kita? Saya dengan tegas akan mengatakan rombak total kepengurusan PSSI. Saya pikir sudah saatnya para pengurus PSSI sekarang legowo untuk menyerahkan tanggung jawabnya pada orang lain yang lebih berkompeten. Kesempatan sudah beberapa kali diberikan, tetapi hasilnya tetap saja buruk, bahkan mengarah pada memalukan.

Berilah kepercayaan pada orang-orang yang lebih fresh, demi penyegaran. Selain itu, saya pikir PSSI sendiri merupakan fondasi dasar membangun sepak bola nasional yang maju. Sehingga PSSI harus berbenahdengan cepat, So, saya harapkan kongres ini benar-benar bertujuan untuk memajukan sepak bola nasional, bukan formalitas. Terima kasih

Setuju Dengan Pencalonan Indonesia Menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2018 / 2022

Pencalonan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022, mungkin bisa dibilang, ambisius. Atau gila. Ga punya otak. Atau apalah yang jelek-jelek. Tapi bagi saya, berita mengejutkan yang dilakukan PSSI merupakan langkah bagus.

Kenapa? Indonesia adalah negara yang potensi pariwisatanya sangat besar. Dan hal ini menjadi hal dasar bagi PSSI untuk memajukan pariwisata Indonesia.

Dari sudut penjual, mungkin PSSI terlihat seperti orang bodoh. Seolah-olah tidak memahami produknya. Yaitu produk pariwisata kita yang carut marut. Tapi sebenarnya, keinginan sebagian warga masyarakat, terutama yang memiliki jiwa bisnis, kesempatan ini akan menjadi tipping point untuk memulai usaha di sektor pariwisata. Saya yakin, warga Indonesia akan memanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjual potensi pariwisata kepada penonton Piala Dunia yang mengunjungi Indonesia.

Indonesia adalah negara yang berpotensi melahirkan pesepakbola-pesepakbola handal di tahun 2018 dan 2022. Kenapa saya berani bilang demikian, karena menjamurnya olahraga futsal, sehingga olahraga populer lain jadi tenggelam seperti bola basket, memudahkan para pencari bakat untuk menggaet talenta-talenta baru.


Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki penduduk terbanyak di dunia dan mungkin, lebih dari 50% adalah penikmat sepakbola. Jadi, potensi masyarakat untuk mendukung gelar akbar ini akan besar. Dan saya yakin akan hal itu.

Indonesia adalah negara yang memiliki orang pemasar yang sangat banyak. Hal ini bisa dilihat dari begitu banyaknya warga masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada profesi marketing. Kita tahu, orang marketing adalah orang yang bisa mengubah sepatu belel menjadi sepatu seharga setengah juta rupiah. Nah, karena itu, saya yakin, orang-orang yang pesimis terhadap niat baik PSSI akan bisa dipoles menjadi orang-orang yang optimis akan pagelaran akbar ini.

Indonesia adalah salah satu negara pemroduksi tekstil terbesar di dunia. Jadi, saya yakin Pencalonan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022 akan terima baik oleh pengusaha-pengusaha tekstil karena akan meningkatkan produksi dan pendapatan mereka secara signifikan. Jika dari kalangan pengusaha sudah mendukung, maka biaya sebesar apapun, akan tidak jadi masalah.

Indonesia adalah salah satu negara pemroduksi kopi terbesar di dunia. Jadi, saya yakin Pencalonan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 atau 2022 akan terima baik oleh pengusaha-pengusaha kopi karena akan meningkatkan produksi karena ekspor ke belahan bumi lain meningkat. Sama seperti diatas, jika dari kalangan pengusaha sudah mendukung, maka biaya sebesar apapun, akan tidak jadi masalah.

Dan masih banyak lagi alasan kenapa Impian PSSI akan mendapat sambutan positif dari warga masyarakat Indonesia. Anda mau menambahkan?

Menunggu Liverpool

Kesalahan mendasar Liverpool adalah..

Setelah era Dalglish melatih Liverpool habis.. (1991)

yang diantaranya sukses bawa The Reds juara EPL di 1989 itu

Justru setelah tinggal beberapa langkah lagi, mereka malah memecat Gerard Houllier…

Bayangkan.. fondasi kokoh yang sudah dibuat Houlier, dihancurkan begitu saja oleh manajemen

dengan cara mendatangkan Benitez yang notabene masih awam soal EPL saat itu

6 tahun yang tersia-sia, karena selain fondasi kokoh..Houllier juga sukses membangun The Dream Team baru..

Robby Fowler, Steve McManaman, Patrick Berger, Jason McAter, Sammy Hyypia, Stephane Henchoz,

Gary McAlister, Danny Murphy, Emile Heskey dan Dietmar Hamann… dan banyak lagi
Bahkan Houllier pula yang memoles bakat emas Michael Owen dan Steven Gerrard…
Dengan pemain pemain tadi… Houllier sukses berburu piala-piala, diantaranya
League Cup (2001), FA Cup (2001), UEFA Cup (2001),
FA Charity Shield (2001), UEFA Super Cup (2001), dan League Cup (2003)
(data from Wikipedia)

Disinilah manajemen Liverpool kudu mencontoh teladan Juventus, Manchester United dan Arsenal.


Lippi butuh 7 tahun untuk mengokohkan Juventus di pelataran seri A yang terkenal keras

Wenger hingga kini sudah 14 tahun lamanya bercokol di Arsenal.. demi sebuah fondasi kokoh,

kekuatan terpadu dan kerjasama yang saling mengikat satu sama lain.

Bahkan Fergie lebih gila lagi… Dia butuh 24 tahun untuk membuat Manchester United tim yang sangat solid

Rentang waktu itu telah membuat United begitu meraja baik di Inggris maupun Dunia..!!

Bandingkan…dengan Liverpool

Mereka gak sabaran.. rentang waktu 6 tahun itu dipangkas, oleh manajemen..

Karena melihat Benitez sukses di Valencia

Padahal jelas… aroma Spanyol jauh berbeda dengan bau Inggris…

Kalo kita menengok ke belakang lagi…

fondasi kokoh itu tercipta saat Graemme Sounnes dan Roy Evans kebingungan,

mencapur pasir dan semen yang pas buat ciptakan fondasi tadi

Houllier yang dipecat, waktu itu akhirnya memuntahkan segala kemampuannya saat jadi tukang di Lyon

(tangan dinginnya sukses melahirkan Florent Malouda dan Eric Abidal mendunia)

Bayangkan.. Jika Houllier masih ada di tahun 2005 itu…

Mungkin Liverpool di rentang 2005 hingga 2010 sudah meraih juara EPL

Bukan soal Benitez raih UCL 2005, tapi lebih kepada tensi tinggi saban minggu selama satu tahun

Dan hal itu jelas gak ada di turnamen macam UCL

Karena memang pengalaman Benitez di turnamen dan di ranah Spanyol

Jika Kenny kembali menukangi Liverpool,
itu sama saja dengan pertanyaan

"bagaimana jika Houllier kembali?"

Karena hal tersebut jelas lebih sulit….
Liverpool harus kembali lagi ke titik 0…memulai lagi…

Ceritanya sama, seperti saat Juventus menarik kembali Lippi di tahun 2004
atau saat King Kev kembali ke Newcastle United

Sepakbola bukan soal instant, dan soal euforia manajer di masa lalu
Sepakbola adalah sebuah proses panjang….

Dan ironisnya, Liverpool sudah memangkas proses itu sendiri di tahun 2004

saat dimana menghancurkan fondasi Houllier dan mendatangkan Benitez

***

Cerpen berjudul “SEPAKBOLA”

Kilas balik di tahun 2007, di salah satu sudut kota, tepatnya persimpangan jalan sekitar Bendungan Hilir, terdapat keramaian kecil di sebuah warung kopi sederhana. Sopir taksi, tukang ojek dan beberapa pemuda lainnya terlihat bersorak sorai, riuh rendah mengomentari acara yang sedang berlangsung.

Pertandingan Liga Inggris antara CHELSEA VS FULHAM, yang ditayangkan oleh Lativi merupakan obyek ocehan diantara mereka . Terkadang mereka saling cela satu sama lain, bersenda gurau, menahan napas, sambil menikmati hidangan ala kadarnya. Di sisi lain mereka bertingkah laku secara ekspresif, manakala tim kesayangannya membuat suatu peluang emas. Mereka bagaikan sekumpulan bocah yang mendapatkan mainan baru, dan larut dalam dunianya masing-masing.

Tanpa disadari, sepakbola telah menghipnotis dunia dengan eksistensinya. Aktivitas masyarakat dan tatanan kebudayaan maupun kekeluargaan menjadi lebih erat karenanya. Bagaimana tidak ?

Status sosial, hirarki jabatan dan tetek bengek birokrasi lainnya menjadi luntur, manakala sekumpulan profesional, maupun pekerja biasa, bahkan pengangguran sekalipun berkumpul untuk menyaksikan suatu pertandingan sepakbola. Bagi mereka semua sepakbola adalah hiburan, untuk melepaskan rasa penat dari ketegangan hidup sehari-hari.

Kembali kepada kisah sopir taksi di warung kopi tersebut. Setelah pertandingan usai, mereka melanjutkan komentar-komentar seputar pertandingan yang baru saja disaksikan. Sebagian dari mereka kembali ke mobilnya, untuk kembali mencari setoran. Ada secercah harapan dalam wajah mereka.

Dengan beban hidup yang teramat berat di kota Jakarta, sebuah pertandingan sepakbola, bagi mereka sudah merupakan barang mewah dan hiburan berharga, untuk melepaskan diri dari tekanan dan rasa jenuh.

Aku Menangis Bersamamu,
Rakyat Kecil

Aku menangis bersamamu, rakyat kecil: orang-orang miskin yang terpaksa antri beras murah berjam lamanya, yang tak punya biaya buat lanjutkan sekolah anaknya ke kota, yang terisak karena dirampas sawah dan ladangnya, yang semaput digebuk polisi karena terpaksa maling pupuk di gudang negara, yang ditampar yang ditinju yang dibanting serta diperkosa hak-haknya sebagai manusia.

"Wahai, Tuhan Yang Maha Kaya, beri kami Cinta!"

Aku menangis bersamamu, rakyat kecil: karena kalian hanya sanggup meratapi penindasan yang tak henti menggilas kehidupan tanpa mampu melakukan perlawanan, karena kalian cuma sanggup mengumpat dan mempertanyakan janji-janji keadilan dari bilik-bilik kalian yang kumuh sambil terbaring menahan perut yang kelaparan, karena kalian adalah mahluk kesayangan Tuhan.

"Wahai, Tuhan Pencipta Keadilan, beri kami Kekuatan."

Aku menangis bersamamu, rakyat kecil: yang kecut yang takut yang geram karena telah sekian lama dijadikan sapi perahan milik kaum modal dan penguasa, bangkitlah!, jangan diam saja, sekarang saatnya kita melawan, lawanlah kimiskinan, lawanlah pembodohan, lawanlah penjajahan yang telah berabad menginjak-injak nasibmu dengan sepatu lars kekuasaan, bersatulah wahai kaum yang kalah!, sekarang saatnya mewujudkan segala mimpimu akan keadilan yang telah sekian lama terpendam di dalam batin yang sakit dan terjajah, maju!, majulah rakyat kecil yang terhina, bersatulah, tunjukkan kini kuasa dirimu atas dunia.

"Wahai, Tuhan Penguasa Jagat Raya, beri kami Senjata."

One Step Closer To The Death

One Step Closer To The Death

I am one step closer to The Death, but if The Death dares to take anybody that I care in this world in front of my eyes again, I swear to God and Devil that I will fight and kill The Death!!!!!


Yaa, itulah perasaan aku saat ini...
Pernahkah kalian tahu bagaimana rasanya saat orang orang yang kalian sayangi pergi, hilang, satu persatu di depan mata kalian?

Pernah kah kalian tahu bagaimana rasanya melihat orang-orang yang kalian sayangi meregang nyawa di pelukan kalian?

Aku pernah...
Berkali kali...
dan rasanya sakit sekali
Sedih...
marah...
putus asa...
merasa tidak berdaya...
jadi satu

Rasanya ingin bertemu dengan "yang disebut dengan malaikat maut"....
bertemu dengan yang dinamakan orang "sang kematian"....
Menantangnya untuk bertarung...
menghancurkannya dengan kedua kepalan tangan...
merebut kembali nyawa dan jiwa orang orang yang kita sayang....


Tapi ketidak berdayaan ini....
menyesakkan dada
menghantam dada seperti palu godam
sakit....
tanpa tahu jelas letak sakitnya....

marah....
entah kepada siapa marahnya.....

tapi aku bersumpah....
selama aku bernafas....
aku tidak akan membiarkan orang-orang yang aku sayang...
yang masih ada...
direbut lagi di depan mata...

Aku bersumpah....entah kepada Tuhan atau Setan...
Akan aku cari Kematian...
menghancurkannya dengan kepalan tangan....
bila ia berani lagi merenggut orang orang yang aku sayang...
di dunia ini.....

walau harus aku tebus ...
dengan jiwa yang akan selalu mengembara...
antara langit dan dunia...
tanpa ketenangan...
menjadi jiwa yang dikutuk oleh Sang Tuhan....

karena aku telah membunuh
Sang kematian

Meditasi dengan Sebatang Rokok

( i )

menatap hidup menjadi 0,
pikiran 1: menjadi 2.

hu! rusuk-rusuk waktu: mencucuk-cucuk
batinku. "jangan berdetak!" teriak
keheningan, om, alangkah pedih menjadi
gerak, om, alangkah nikmat menikam gerak!

"pembalikan," bisik lao tse, tapi
yang kulihat kini cuma penghancuran,
siklus kepedihan dalam situs kebencian.

"seppuku!" jerit mishima, lalu
kulihat ruang-ruang memadat
menjelma katana: merobek nirwana!
("inilah keinginan," bisik sang budha).

"ha-ha-ha!" sartre tertawa, ketika
menyaksikan hatiku menjelma purnama.
"semua cuma ilusi, en-soi kepedihan
yang tak puas menuju mati!" umpatnya
sambil memandang puri bersama kafka.

tapi, dari lututku, tiba-tiba menjelma naga
(yang mendesis dan menyemburkan andromeda),
akulah cahaya!, lalu kubiarkan tubuhku
meluas menjelma semesta, menyerap black hole
dan nebula, lalu dari tengah-tengah keningku:
tu fu (penyair sunyi itu) bersenandung tentang
embun di pokok-pokok kayu atau daun-daun layu
atau warna-warni sayap kupu-kupu atau bulan dan
anggur yang membikin kaku: inikah keabadian itu?

( ii )

"kita terjebak dalam ketakpastian," gerutu
heisenberg sambil memetik mawar dikeningnya.
"tapi nasib selalu menuntut kepastian," ucap
khrisna sambil menanam mawar di keningnya.
"eureka!" jerit archimides sambil mengecup
mawar yang tumbuh dan mekar di bak mandinya.

( iii )

"mengapa manusia bisa bermimpi?" tanya bulan.
"agar berani memandang diri!" jawab matahari.
(lalu aku bermimpi tentang bulan yang terluka
dan dikunyah-kunyah matahari). "agar kematian
memiliki arti!" sahut srikandi, sambil melepas
anak panahnya. "inikah karma?" teriak bisma,
seolah geram pada kematian yang mengepungnya.
(eli! eli! yesus pun tersenyum di tiang salibnya?).

( iv )

"kuanta cahaya!" jerit planck,
sambil memandang atom-atom jiwa
bergoyang samba di pusat sunyata.

namun apa yang akan kita temukan, bila
pikiran kita selalu melingkar tanpa harapan?

"panta rei!" seru heraklitos. "bukan, kita
musti selalu selaras dalam kebaikan," ucap
mencius. sedangkan di sana, dalam kebisuan
cakrawala, zarathustra (pewarta agung itu)
tertegun menatap rahasia gelap dan terang,
kemudian tersenyum di balik bayang-bayang.

lantas di manakah letak kebebasan, bila
akhirnya kita tetap menyerah pada kebencian?

"bushido!" teriak yamamoto, lalu kulihat
ribuan lebah terbang dan menghisap
bintang-bintang -- atau kunang-kunang?

namun apakah makna pencarian, bila
ternyata hidup cuma melingkar tanpa tujuan?

"mari, marilah ke mari, hiruplah inti
rahasia diri," bujuk fichte kepada
batu-batu, kepada daun-daun layu.

lalu kulihat berjuta matahari
berlomba saling menyinari: betapa nyeri!

"hidup musti bergerak dalam penderitaan,
atau menunggu dicabik taring kepedihan!"
teriak mahavira, sambil merobek dadanya.

lalu kulihat berjuta cahaya
menggumpal jadi setetes airmata!

"perdamaian…" senandung john lenon
-- aneh, dari balik
horison (atau
puncak bukit
sion?) tiba-tiba
kulihat einstein
menggesek biola
sambil tak henti
meneteskan airmata --
("betapa mahalnya cinta?" keluh solomon).

astaga! ternyata waktu sedang bermain-main
dengan manusia: dengan kebodohan dan kata-kata.

menatap hidup menjadi 0,
pikiran 2: menjadi 1.

Waduh senangnya bisa memperkosa.

Reformasi memperkosa otonomi. Otonomi memperkosa birokrasi. Birokrasi memperkosa retribusi. Retribusi memperkosa pejabat negara. Pejabat negara memperkosa Pak polisi. Pak polisi memperkosa mahasiswa. Mahasiswa memperkosa demonstrasi. Demonstrasi memperkosa tentara. Tentara memperkosa semuanya.

Hebat kan?

Waduh senangnya bisa memperkosa.

Pendidikan memperkosa Pak guru. Pak guru memperkosa buku-buku. Buku-buku memperkosa para siswa. Para siswa memperkosa lantai plaza, gedung bioskop, lampu diskotik, rumah pelacuran, meja bilyar, sambil asyik rame-rame menghisap ganja.

Hebat kan?

Waduh senangnya bisa diperkosa.

Petani diperkosa pupuk kimia. Pupuk kimia diperkosa pengusaha. Pengusaha diperkosa penguasa. Penguasa diperkosa aksi massa.

Hebat kan?

Undang-undang diperkosa anggota DPR. Anggota DPR diperkosa krisis moneter. Krisis moneter diperkosa Amerika. Amerika diperkosa kapitalnya.

Waduh senangnya bisa diperkosa.

Kaum buruh diperkosa biaya rumah tangga. Biaya rumah tangga diperkosa kenaikan harga. Kenaikan harga diperkosa perhitungan laba. Perhitungan laba diperkosa cadangan devisa. Cadangan devisa diperkosa target ekspor. Target ekspor diperkosa bahan impor. Bahan impor diperkosa pasar dunia. Pasar dunia diperkosa negara-negara utara.

Hebat kan?

Ayo, ayo, silahkan memperkosa.

Para hakim boleh memperkosa hukum negara. Hukum negara boleh diperkosa para jaksa. Para jaksa boleh memperkosa semua tersangka. Semua tersangka boleh diperkosa pengacara. Pengacara boleh memperkosa uang tersangka. Uang tersangka boleh diperkosa oleh hakim, jaksa, polisi, hingga pejabat negara. Di negeri kami, pemerkosaan sudah jadi budaya.

Hebat kan?

Waduh enaknya punya bangsa yang suka memperkosa.

Waduh senangnya bisa memperkosa.

Reformasi memperkosa otonomi. Otonomi memperkosa birokrasi. Birokrasi memperkosa retribusi. Retribusi memperkosa pejabat negara. Pejabat negara memperkosa Pak polisi. Pak polisi memperkosa mahasiswa. Mahasiswa memperkosa demonstrasi. Demonstrasi memperkosa tentara. Tentara memperkosa semuanya.

Hebat kan?

Waduh senangnya bisa memperkosa.

Pendidikan memperkosa Pak guru. Pak guru memperkosa buku-buku. Buku-buku memperkosa para siswa. Para siswa memperkosa lantai plaza, gedung bioskop, lampu diskotik, rumah pelacuran, meja bilyar, sambil asyik rame-rame menghisap ganja.

Hebat kan?

Waduh senangnya bisa diperkosa.

Petani diperkosa pupuk kimia. Pupuk kimia diperkosa pengusaha. Pengusaha diperkosa penguasa. Penguasa diperkosa aksi massa.

Hebat kan?

Undang-undang diperkosa anggota DPR. Anggota DPR diperkosa krisis moneter. Krisis moneter diperkosa Amerika. Amerika diperkosa kapitalnya.

Waduh senangnya bisa diperkosa.

Kaum buruh diperkosa biaya rumah tangga. Biaya rumah tangga diperkosa kenaikan harga. Kenaikan harga diperkosa perhitungan laba. Perhitungan laba diperkosa cadangan devisa. Cadangan devisa diperkosa target ekspor. Target ekspor diperkosa bahan impor. Bahan impor diperkosa pasar dunia. Pasar dunia diperkosa negara-negara utara.

Hebat kan?

Ayo, ayo, silahkan memperkosa.

Para hakim boleh memperkosa hukum negara. Hukum negara boleh diperkosa para jaksa. Para jaksa boleh memperkosa semua tersangka. Semua tersangka boleh diperkosa pengacara. Pengacara boleh memperkosa uang tersangka. Uang tersangka boleh diperkosa oleh hakim, jaksa, polisi, hingga pejabat negara. Di negeri kami, pemerkosaan sudah jadi budaya.

Hebat kan?

Waduh enaknya punya bangsa yang suka memperkosa.

Sastra

Karya sastra merupakan salah satu hasil karya manusia yang akan tetap dikenang dan diabadikan meskipun generasi-generasi baru bermunculan dan menciptakan hasil karya yang baru lagi. Karena itu, meskipun hanya sedikit, kita mencoba untuk mengakomodir karya-karya sastra yang telah dihasilkan baik oleh penulis-penulis 'kacangan' maupun yang pernah mencicipi 'Magsaysay Award', tentu dengan harapan agar karya-karya tersebut tidak lenyap begitu saja dalam siklus peradaban.


Bola-Bola, Raket, dan Sepatu

Kami, bola-bola dan raket, di dalam tas. Gelap, lama tak tersentuh. Dulu, bola-bola selalu berlarian setiap Sabtu sore di hard court. Memantul ke setiap sudut lapangan dengan lincahnya. Terkadang Gadis tak dapat meraih bola-bola dengan ayunan raketnya.

Dulu, raket selalu berayun setiap Sabtu sore. Tergenggam erat di tangan Gadis. Terkadang ia menggerutu karena ayunan forehand dan backhand-nya tak dapat mengantarkan bola-bola melintasi net.

Kami tahu, kamu akan selalu menjadi obsesinya. Karena baginya, tidak ada permainan yang lebih mengasyikkan selain berpeluh ria saat sore hari. Mengayun raket dengan nafas memburu cepat, mengejar bola-bola yang melesat di hard court.

Ia amat menikmati permainan rally panjang di baseline. Hanya, Gadis belum lagi mendapatkan sparring partner yang sepadan dengan pamannya, orang yang pertama kali mengenalkan kami dengan Gadis. Sejak itu, kami selalu jadi kawan karibnya. Namun setelah pamannya sibuk, sulit bagi kami untuk kembali bersenang-senang dengannya.

Sepatu, ia telah lama berakhir. Ia tak hanya melindungi kaki Gadis di hard court. Tapi juga di aspal yang panas, jalan berdebu, tanah yang becek, hingga waktu pun merenggut hayatnya. Ia karib yang setia bagi Gadis. Mungkin itu pula alasannya kami tetap di sini, di dalam tas, gelap, lama tak tersentuh. Gadis belum juga mendapatkan sepatu baru.

Masih teringat kami, lebih dari setahun lalu. Saat terakhir kami, Gadis, bola-bola, raket, dan sepatu merasakan kegembiraan. Menjelajah lapangan dengan seorang teman Gadis.

Sebenarnya tidak sekali dua Kiki, teman Gadis, menjadi sparring partner-nya. Kadang Kiki dan Gadis saling membuat janji bertemu di lapangan. Pemanasan bersama, bermain bersama.

Seru, kadang-kadang menjengkelkan bagi Gadis. Ia sering tertipu gerakan bola yang sengaja dipantulkan oleh raket Kiki dengan ayunan tipuannya.

"Waduh Kik, ojo mbujuki ta. Main sing enak ae lho! (Waduh Kik, jangan ngebohongin dong. Main yang enak aja lho!, Red)" serung Gadis berseru pada kawannya itu. Kiki tersenyum girang bisa menipu Gadis. Itulah saat terakhir Gadis bermain seru dengan Kiki, founder of Big World Saturday, majalah independen dimana Gadis pernah bergabung.

Tetapi kami di dalam tas, gelap, lama tak tersentuh. Hingga suatu saat ibu Gadis membelikan sepasang sepatu baru. Merek yang sudah lama Gadis idam-idamkan.

"Terima kasih ya Bu! Aku bisa main lagi," ucapnya pada ibu yang tersenyum melihat anaknya gembira. Tapi siapa yang bisa jadi sparring partner Gadis? Karena ia sadar, Kiki makin sibuk. Ia khawatir mengganggunya. Tapi kami tahu, kami akan selalu menjadi obsesinya.

Tu li lu lit! Nada SMS dari HP Gadis membuatnya membuka mata dari istirahat siang. "Dis, ini Angga. Nanti sore aku dan Dhanny mau menantangmu tenis!" Bergegas ia membalas SMS tantangan itu dan segera bersiap-siap.

"Aduh, gimana nih. Pagar lapangan kok dikunci semua?" Gadis tampak bingung.
"Ayo Dis, kita cari yang punya kunci." Angga segera menawarkan bantuannya.
Merekapun berboncengan di atas sepeda motor milik Angga yang melaju kencang. Fiuuuh, akhirnya Gadis bisa mendapatkan kunci dari pak Salimin. Petugas yang terakhir membersihkan lapangan itu. Berkat jasanya, lapangan itu selalu terawat.
Kami, bola-bola, raket, dan sepatu kembali beraksi di lapangan. Tapi baru kali ini kami melihat kedua orang teman Gadis. Seorang setinggi Gadis, seorang lagi wuih, lebih tinggi.

Hanya yang bertubuh tinggi yang beradu di lapangan dengan Gadis karena Angga harus melatih basket di SMA tempat ia dulu bersekolah.

Tak apalah, yang penting kami, bola-bola, raket, dan sepatu dapat memberikan kebahagiaan yang sudah lama tidak dirasakan Gadis. Bermain lagi di hard court. Karena kami tahu, kami akan selalu menjadi obsesinya.

Dan rupanya Dhanny, kawan barunya bermain cukup bagus. Service-nya lumayan. Permainan mereka baru berakhir saat senja mulai memerah. Walaupun badan Gadis pegal-pegal karena sudah lama tidak berlatih. Gadis amat bahagia. Kami tahu itu.

Keesokan malamnya, Gadis berseru pada kawan barunya itu via SMS. "Yeah! Lengan kananku sekarang berotot. Ough! Kayak Popeye tapi cuma sebelah kanan. He-he…"

Bola Voli

Siang itu tidak terlalu panas, sehingga aku memutuskan untuk pulang jalan kaki saja. Biasanya sih untung-untungan, kali-kali saja dapat tebengan, kalau mau berajin-rajin menunggu di depan pintu parkir motor. Dengan memasang wajah memelas, kadang-kadang Firdaus rela menyediakan boncengan. Tapi itupun dengan catatan kalau dia lagi enggak ada kecengan.

Maka, dengan menyampirkan tas selempang yang rada kepanjangan, aku melangkahkan kaki melalui pintu halaman belakang sekolah. Sehari-hari, yang pulang lewat pintu halaman belakang bisa dihitung dengan jari, karena jalanannya sempit dan sepi. Tetapi bagiku, melalui jalan itu justru memberi kesempatan untuk lewat di depan rumah Linda, cewek cakep penghuni kelas dua a satu. Linda biasanya juga lewat sini, maka aku sengaja sedikit berlama-lama untuk menunggunya muncul.

Benar, tak lama kemudian, muncullah sosok indah itu. Ah, langkahnya saja sudah membuat hati ini dag dig dug. Linda selalu khas dengan kuncir ekor kuda, tapi menyisakan sedikit rambut yang dikepang kecil di dahinya. Tangan kanannya menggenggam tali tas yang menyampir ke samping, sedangkan tangan kirinya memegang tas kantong kertas yang entah isinya apa. Berjalan agak tergesa tanpa menengok kanan dan kiri. Aku bersandar di pintu gerbang, pura-pura acuh tak acuh. Begitu Linda lewat, aku lantas pura-pura memutar badan hendak masuk lagi.

“Eh, Linda…” Sapaku pura-pura kaget.

“Eh, Edo…” Balasnya, lantas mengambil arah agak kesamping, untuk menghindari senggolan.

“Mau pulang?” Pertanyaan bodoh meluncur dari mulutku.

“Iya…, emang mau kemana lagi…” Jawabnya sambil tertawa, seakan menertawakan ketololan pertanyaanku.

Aku membalikkan badan, menyusul langkahnya.

“Lho, kamu mau kemana Do?” Tanyanya heran melihat aku mengikutinya.

“Pulang juga, mau jalan kaki, habisnya enggak ada tebengan.” Jawabku pura-pura acuh.

Maka akupun membarengi langkahnya. Linda juga tak keberatan, karena selama lima menit perjalanan menuju rumahnya, ia punya teman ngobrol. Selanjutnya selama lima belas menit aku harus melanjutkan perjalan pulang sendirian. Tetapi siang itu, ada sebuah kejutan, “Do, aku ikut tim voli lho sekarang, latihannya tiap Jumat.”

Voli? Itu permainan yang paling aku takutkan sepanjang karirku di SMA ini. Bukan, bukan karena takut kehajar bola, tetapi sejak trauma tangan kananku pernah patah tulang, aku jadi selalu khawatir saat hendak melakukan pukulan terhadap bola. Akibatnya, aku selalu menghindari olah raga ini dan lebih memilih atletik sebagai alternatif untuk ekstrakulikulerku. Tetapi, di siang hari yang tidak panas ini, Linda bilang dia main voli? Duh…

Setelah berpisah di belokan ke arah rumahnya, aku berjalan pulang sambil merenungkan percakapan tadi. Kalau Linda main voli, tentu yang diuntungkan adalah para cowok yang juga ikutan tim voli, karena latihannya bareng. Apalagi semua tahu, cewek kece satu ini kalau sudah bertekad melakukan satu hal, apapun tidak akan menjadi halangannya. Nah, ketakutanku, kalau Linda nanti begitu bersemangat untuk sering-sering latihan voli, maka persaingan untuk bisa pendekatan denganya akan semakin ketat. Kalau sudah begitu, kans ku pun pasti akan semakin kecil, soalnya, seperti yang kukatakan tadi, bola voli adalah sesuatu yang sangat menakutkan bagiku.

Tetapi, pikirku, kalau membiarkan diri untuk kalah begitu saja dalam persaingan, rasanya aku tak rela. Apalagi aku tahu di sana ada Agus, Dodi dan Farid yang juga sesama fansnya Linda dan mereka adalah jago-jagonya voli.

**********

“Ayo Do, tangan kanan kamu diayun kayak gini…” Seru Iwan bersemangat.

Aku sudah mulai ngos-ngosan, karena berkali-kali gagal melakukan servis hanya untuk melewati net. Beberapa hari ini, memang aku menggiatkan latihan voli, dan Iwan berbaik hati untuk menjadi pelatihku, meskipun ia tidak jago-jago amat. Kami latihan di lapangan samping pos hansip yang selalu sepi. Aku memang bertekad untuk bisa main voli, tetapi aku tidak ingin dilihat orang saat latihan. Ya malulah kalau ketahuan mau servis saja tidak bisa.

Kembali pukulanku hanya mampu membuat net bergoyang saja, bolanya tidak lewat ke seberang. Untung punya pelatih seperti Iwan yang tetap bersemangat memaksaku untuk mencoba terus. Maklumlah, Iwan sebenarnya punya potensi untuk menjadi pemain inti sekolah, sayang matanya minus terlalu dalam sehingga tidak memungkinkannya untuk berada di lapangan. Akhirnya, ia cuma bisa menjadi pelatih amatir seperti yang sekarang dilakoninya.

“Udah dulu deh Do, istirahat dulu.” Ajak Iwan, yang tampak mulai lelah juga.

Kami duduk di pinggir lapangan, sambil meneguk teh botol.

“Kenapa sih kamu ngotot mau coba main voli?” Tanya Iwan penasaran.

Aku memandang wajah Iwan yang penuh rasa ingin tahu. Aku tidak terlalu yakin Iwan bisa jadi teman berbagi cerita yang aman. Maka aku mencari alasan lain.

“Soalnya aku bosan jadi sprinter Wan.”

“Lha, emangnya ada kemungkinan tim voli mau menarikmu?”

“Ya setidaknya jadi pemain cadangan Wan, daripada lari-larian terus.”

Iwan menggelengkan kepala, tanda setengah bingung.

Sebenarnya, di atletik, Pak Jamal, guru olahraga kami, sangat mengandalkanku di nomor lari sprint 100 meter, karena aku satu-satunya pelari di sekolah kami yang pernah menang dalam kejuaraan wilayah. Tapi, untuk voli, ini soal hati.

“Ayo Wan, latihan lagi, targetku satu bulan ini setidaknya sudah bisa main.” Aku berjalan ke lapangan lagi, diikuti pelatih setiaku, Iwan Kurniawan Gunawan.

**********

Aku berjalan memasuki ruang olahraga yang sudah ramai. Setelah sebulan berlatih penuh, setidaknya aku sudah bisa servis dan memukul balik bola ke seberang net. Dan hari ini aku sudah resmi masuk tim voli, meski hanya duduk di bangku cadangan. Itupun aku harus melobi Agus, sang kapten tim.

“Aku bingung padamu Do. Kamu kan udah jago di lari, ngapain mau ikutan voli?” Ujar Agus saat kuutarakan keinginanku masuk timnya.

“Bosan Gus. Kalau di stadion atletik enggak ada yang nonton, kalau voli kan rame.” Jawabku beralasan.

“Nanti aku dimarahi Pak Jamal, dikira aku yang mengajakmu.”

“Tenang, nanti aku yang jelaskan ke Pak Jamal.”

Iwan juga bersemangat menyeponsoriku ikut tim voli, karena ia tidak mau melatihku sia-sia. “Iya Gus, kasih kesempatan si Edo. Dia udah usaha latihan terus lho.”

“Oke, tapi sementara di cadangan dulu ya Do. Soalnya sebentar lagi akan ada pertandingan antar sekolah, kita lagi serius di situ.” Akhirnya Agus menyerah.

Maka sampailah hari pertandingan ini. Aku sudah mengenakan kaos tim warna putih yang bertuliskan namaku, dan duduk bersama-sama dengan pemain lainnya di tepi lapangan. Agus sibuk memberi wejangan, tetapi aku tidak begitu memperhatikannya. Sebab, di lapangan sebelah, pertandingan tim putri sedang berlangsung. Dan Linda sedang akan melakukan pukulan servis. Linda sekarang di tim inti voli putri, dan kelihatannya ia termasuk salah satu pemain yang diandalkan. Rasanya, tidak hanya kedua mataku saja yang terpaku padanya, hampir seluruh mata memandangnya, sehingga seakan seluruh ruang olahraga terdiam menunggunya melakukan pukulah servis.

Dengan tenang, ia memantul-mantulkan bola putih itu. Mulutnya bergerak-gerak tipis mengunyah permen karet. Sebuah kepang kecil panjang berpita yang diikat dekat keningnya bergoyang-goyang. Itu ciri khas Linda. Tangan kirinya sekarang mengangkat bola, pandangannya lurus ke arah lapangan lawan. Sekejap, bolanya sudah terlontar ke seberang, melumpuhkan pukulan balasan lawan. Sorakan menggema. Bola kembali di tangannya. Memang, Linda tampak piawai, sosoknya yang semampai sangat mendukungnya menjadi pemain yang hebat. Ia memang sang primadona lapangan voli hari ini.

Aku tidak lagi memperhatikan permainan di lapangan pertandingan voli putra yang sudah dimulai. Mataku terpaku pada sosok Linda di lapangan sebelah. Sampai pertandingan tim putri selesai, dan sekarang penonton barulah lebih tertarik melihat pertandingan putra. Aku tetap duduk di bangku cadangan, dan tidak perduli apakah akan ikut turun bermain atau tidak. Di posisi belakang kotak servis, tampak Linda duduk di sana dengan beberapa pemain putri. Aku terseyum, saat ia tak sengaja melihat ke arahku. Ia melambai, agaknya ia terperangah melihat aku ikutan duduk di bangku cadangan dengan kaos pemain.

Selang beberapa saat, set pertama usai. Agus mendekatiku, “Do, kamu turun yah. Kaki Dodi agak terkilir, enggak sanggup main lagi.” Aku terkesiap, “Serius Gus, aku turun?”

“Iya, siapa lagi?” Agus memandang galak padaku. Aku melihat ke samping, tidak ada pemain cadangan lagi, karena dua orang selain aku, Dian dan Tommy sudah ada di lapangan menggantikan tim inti. Ini strategi Agus, karena set pertama kami sudah menang, sehingga jika ada set ketiga, maka tim inti sudah pulih tenaganya untuk bertanding habis-habisan.

Aku berjalan menuju posisiku dengan canggung. Rasanya semua mata memandangku. Aku lebih merasa grogi lagi, setelah melihat Dian dan Tommy melakukan gerak-gerak pemanasan dengan meyakinkan. Sepertinya mereka lebih siap, meskipun sama-sama pemain cadangan. Tidak lama, pluit wasit sudah ditiupkan, dan set kedua benar-benar dimulai!

Mataku berusaha mengikuti arah bola, yang diterima Adi, melambung ke Tommy, lalu Alam melompat dan smash pertama berhasil masuk. Semua bertepuk. Aku menghela nafas. Belum ada bola yang mampir ketanganku. Aku melirik ke arah belakang, kulihat Linda memperhatikan dengan serius, entah pada siapa.

“Ayo Do!” Tiba-tiba kudengar seruan, aku berpaling dan bola putih itu melayang ke arahku. Setengah refleks, kulakukan pukulan menyamping dan bola melambung ke arah Dian. Berhasil, aku mulai bisa mengendalikan bola. Namun kali ini lawan berhasil menghentikan kami, maka servispun berpindah. Kali ini, Doni, kapten tim lawan yang bertubuh bak binaragawan yang melakukan servis. Aku terkesiap, ketika ternyata bola mengarah ke posisiku. Oh, tapi tidak, kelihatannya ke arah Sugianto. Aku melirik, Sugi tampak bergerak ragu ke arah bola datang. Tak berlangsung lama, kegugupanku menyebabkan bola jatuh ke tempat kosong. Sugi tampak kesal, “Harusnya kamu ambil Do!” Serunya padaku. Aku hanya bisa mengangkat bahu.

Servis kedua dari Doni. Tampaknya ia tahu, titik lemah tim ada di posisiku. Maka bola kembali melayang ke arahku. Posisi jatuh bola agak tinggi, sehingga aku bingung, apakah akan melakukan passing bawah atau atas atau… Sejenak aku terdiam saat bola itu tahu-tahu sudah jatuh di atas kepalaku. Tapi, benturan di kepalaku terasa lebih keras, seperti bukan kena bola. Pandanganku kabur dan aku langsung tak sadarkan diri.

**********

Aku membuka mataku perlahan-lahan. Memandang sekeliling, hanya ada Agus dan Sugianto di ruang UKS ini.

“Wah, untung sudah sadar. Masih pusing Do?” Tanya Agus.

“Sedikit, emang kepalaku kena apa Gus?” Tanyaku heran, sebab tak mungkin kena bola bisa pingsan.

“Kena sikut Sugi.” Kata Agus sambil tertawa, “Dia takut bolanya lepas lagi, makanya saat dia mengayunkan tangan, tahu-tahu kepalamu dan bolanya jatuh ditempat yang sama. Dia enggak bisa ngerem lagi, jadi yang kena hajar kepalamu, bukan bola. Tahu sendiri tangan Sugi, tangan atlet.”

“Iya Do, sori yah….” Ujar Sugi dengan wajah agak khawatir.

“Sama-sama Gi, kayaknya yang bikin masalah aku, bukan kamu.” Jawabku.

“Oke Do, kamu istirahat aja. Kita mau balik ke lapangan. Pertandingan masih berlanjut.” Kata Agus sambil buru-buru berlalu bersama Sugi, sebelum sempat aku menjawab.

Aku merenung sendirian di atas kasur lipat ini. Tampaknya usahaku untuk mencari perhatian Linda gagal total. Memang dasarnya bukan pemain voli, tapi sok tahu sih kamu Do!

**********

Aku mengikat tali sepatuku dan melakukan perenggangan. Seperti biasa, di lapangan atletik cuma ada aku dan Pak Jamal yang selalu memegang stopwatch.

“Oke Do, siap-siap ya. Hampir dua bulan kamu enggak latihan!” Serunya.

Aku mengangguk.

Mengambil posisi start di belakang garis.

Sempritan Pak Jamal menggema.

Aku melesat.

Pandanganku hanya satu.

Garis itu.

Garis finis.

Berputar balik, Pak Jamal melihat ke arah stopwatch-nya, “Lumayan untuk orang yang sudah dua bulan menghilang.” Ujarnya dari balik kaca mata hitam dan topi pet khasnya. Siang itu kuhabiskan untuk melatih kembali otot kakiku, bersama Pak Jamal. Ketika sore sudah mulai membayang, latihanpun usai. Pak Jamal sudah pulang dengan motor tuanya. Aku duduk sendirian di tepi lapangan, menunggu keringat kering.

“Edo…”

Aku berpaling ke arah asal suara yang memanggil. Aku tertegun, Linda sedang berjalan ke arahku. Masih pakai kaos seragam tim Voli. Hari ini hari Jumat, hari latihan dia.

“Balik ke atletik lagi?”

Aku tersenyum pahit, lalu menunduk.

“Kenapa Do…?” Tanyanya lagi.

Aku rasa tak perlu menjelaskan bahwa memang aku tidak bisa main voli. Bahwa memang aku cuma bisa lari.

“Sebenarnya, aku kagum sama kamu. Kamu satu-satunya atlet andalan sekolah kita.”

Aku mengangkat kepalaku, melihat kearah Linda.

“Betul Do, di voli dan basket kita bukan apa-apa.”

Aku masih terpana.

“Lihat, kamu sendirian bisa mengharumkan nama sekolah. Kami rame-rame, malah enggak pernah menang sekalipun.”

Aku tetap terpana. Kepang kecilnya yang bergoyang-goyang membuatku seperti terhipnotis.

“Jadi buat apa ikutan main voli?”

Aku tak ingin menjawab. Toh Linda juga tidak menunggu jawabanku. Aku berdiri, menatap lurus ke mata Linda.

“Kenapa? Mau nraktir aku es campur?” Tanyanya sambil tertawa kecil.

Aku menarik lengannya, mengangguk.

Linda menggenggam tanganku.

Sore sudah tidak terik lagi.

Dan kami tertawa-tawa di warung es campur di depan stadion.