Bola Voli

Siang itu tidak terlalu panas, sehingga aku memutuskan untuk pulang jalan kaki saja. Biasanya sih untung-untungan, kali-kali saja dapat tebengan, kalau mau berajin-rajin menunggu di depan pintu parkir motor. Dengan memasang wajah memelas, kadang-kadang Firdaus rela menyediakan boncengan. Tapi itupun dengan catatan kalau dia lagi enggak ada kecengan.

Maka, dengan menyampirkan tas selempang yang rada kepanjangan, aku melangkahkan kaki melalui pintu halaman belakang sekolah. Sehari-hari, yang pulang lewat pintu halaman belakang bisa dihitung dengan jari, karena jalanannya sempit dan sepi. Tetapi bagiku, melalui jalan itu justru memberi kesempatan untuk lewat di depan rumah Linda, cewek cakep penghuni kelas dua a satu. Linda biasanya juga lewat sini, maka aku sengaja sedikit berlama-lama untuk menunggunya muncul.

Benar, tak lama kemudian, muncullah sosok indah itu. Ah, langkahnya saja sudah membuat hati ini dag dig dug. Linda selalu khas dengan kuncir ekor kuda, tapi menyisakan sedikit rambut yang dikepang kecil di dahinya. Tangan kanannya menggenggam tali tas yang menyampir ke samping, sedangkan tangan kirinya memegang tas kantong kertas yang entah isinya apa. Berjalan agak tergesa tanpa menengok kanan dan kiri. Aku bersandar di pintu gerbang, pura-pura acuh tak acuh. Begitu Linda lewat, aku lantas pura-pura memutar badan hendak masuk lagi.

“Eh, Linda…” Sapaku pura-pura kaget.

“Eh, Edo…” Balasnya, lantas mengambil arah agak kesamping, untuk menghindari senggolan.

“Mau pulang?” Pertanyaan bodoh meluncur dari mulutku.

“Iya…, emang mau kemana lagi…” Jawabnya sambil tertawa, seakan menertawakan ketololan pertanyaanku.

Aku membalikkan badan, menyusul langkahnya.

“Lho, kamu mau kemana Do?” Tanyanya heran melihat aku mengikutinya.

“Pulang juga, mau jalan kaki, habisnya enggak ada tebengan.” Jawabku pura-pura acuh.

Maka akupun membarengi langkahnya. Linda juga tak keberatan, karena selama lima menit perjalanan menuju rumahnya, ia punya teman ngobrol. Selanjutnya selama lima belas menit aku harus melanjutkan perjalan pulang sendirian. Tetapi siang itu, ada sebuah kejutan, “Do, aku ikut tim voli lho sekarang, latihannya tiap Jumat.”

Voli? Itu permainan yang paling aku takutkan sepanjang karirku di SMA ini. Bukan, bukan karena takut kehajar bola, tetapi sejak trauma tangan kananku pernah patah tulang, aku jadi selalu khawatir saat hendak melakukan pukulan terhadap bola. Akibatnya, aku selalu menghindari olah raga ini dan lebih memilih atletik sebagai alternatif untuk ekstrakulikulerku. Tetapi, di siang hari yang tidak panas ini, Linda bilang dia main voli? Duh…

Setelah berpisah di belokan ke arah rumahnya, aku berjalan pulang sambil merenungkan percakapan tadi. Kalau Linda main voli, tentu yang diuntungkan adalah para cowok yang juga ikutan tim voli, karena latihannya bareng. Apalagi semua tahu, cewek kece satu ini kalau sudah bertekad melakukan satu hal, apapun tidak akan menjadi halangannya. Nah, ketakutanku, kalau Linda nanti begitu bersemangat untuk sering-sering latihan voli, maka persaingan untuk bisa pendekatan denganya akan semakin ketat. Kalau sudah begitu, kans ku pun pasti akan semakin kecil, soalnya, seperti yang kukatakan tadi, bola voli adalah sesuatu yang sangat menakutkan bagiku.

Tetapi, pikirku, kalau membiarkan diri untuk kalah begitu saja dalam persaingan, rasanya aku tak rela. Apalagi aku tahu di sana ada Agus, Dodi dan Farid yang juga sesama fansnya Linda dan mereka adalah jago-jagonya voli.

**********

“Ayo Do, tangan kanan kamu diayun kayak gini…” Seru Iwan bersemangat.

Aku sudah mulai ngos-ngosan, karena berkali-kali gagal melakukan servis hanya untuk melewati net. Beberapa hari ini, memang aku menggiatkan latihan voli, dan Iwan berbaik hati untuk menjadi pelatihku, meskipun ia tidak jago-jago amat. Kami latihan di lapangan samping pos hansip yang selalu sepi. Aku memang bertekad untuk bisa main voli, tetapi aku tidak ingin dilihat orang saat latihan. Ya malulah kalau ketahuan mau servis saja tidak bisa.

Kembali pukulanku hanya mampu membuat net bergoyang saja, bolanya tidak lewat ke seberang. Untung punya pelatih seperti Iwan yang tetap bersemangat memaksaku untuk mencoba terus. Maklumlah, Iwan sebenarnya punya potensi untuk menjadi pemain inti sekolah, sayang matanya minus terlalu dalam sehingga tidak memungkinkannya untuk berada di lapangan. Akhirnya, ia cuma bisa menjadi pelatih amatir seperti yang sekarang dilakoninya.

“Udah dulu deh Do, istirahat dulu.” Ajak Iwan, yang tampak mulai lelah juga.

Kami duduk di pinggir lapangan, sambil meneguk teh botol.

“Kenapa sih kamu ngotot mau coba main voli?” Tanya Iwan penasaran.

Aku memandang wajah Iwan yang penuh rasa ingin tahu. Aku tidak terlalu yakin Iwan bisa jadi teman berbagi cerita yang aman. Maka aku mencari alasan lain.

“Soalnya aku bosan jadi sprinter Wan.”

“Lha, emangnya ada kemungkinan tim voli mau menarikmu?”

“Ya setidaknya jadi pemain cadangan Wan, daripada lari-larian terus.”

Iwan menggelengkan kepala, tanda setengah bingung.

Sebenarnya, di atletik, Pak Jamal, guru olahraga kami, sangat mengandalkanku di nomor lari sprint 100 meter, karena aku satu-satunya pelari di sekolah kami yang pernah menang dalam kejuaraan wilayah. Tapi, untuk voli, ini soal hati.

“Ayo Wan, latihan lagi, targetku satu bulan ini setidaknya sudah bisa main.” Aku berjalan ke lapangan lagi, diikuti pelatih setiaku, Iwan Kurniawan Gunawan.

**********

Aku berjalan memasuki ruang olahraga yang sudah ramai. Setelah sebulan berlatih penuh, setidaknya aku sudah bisa servis dan memukul balik bola ke seberang net. Dan hari ini aku sudah resmi masuk tim voli, meski hanya duduk di bangku cadangan. Itupun aku harus melobi Agus, sang kapten tim.

“Aku bingung padamu Do. Kamu kan udah jago di lari, ngapain mau ikutan voli?” Ujar Agus saat kuutarakan keinginanku masuk timnya.

“Bosan Gus. Kalau di stadion atletik enggak ada yang nonton, kalau voli kan rame.” Jawabku beralasan.

“Nanti aku dimarahi Pak Jamal, dikira aku yang mengajakmu.”

“Tenang, nanti aku yang jelaskan ke Pak Jamal.”

Iwan juga bersemangat menyeponsoriku ikut tim voli, karena ia tidak mau melatihku sia-sia. “Iya Gus, kasih kesempatan si Edo. Dia udah usaha latihan terus lho.”

“Oke, tapi sementara di cadangan dulu ya Do. Soalnya sebentar lagi akan ada pertandingan antar sekolah, kita lagi serius di situ.” Akhirnya Agus menyerah.

Maka sampailah hari pertandingan ini. Aku sudah mengenakan kaos tim warna putih yang bertuliskan namaku, dan duduk bersama-sama dengan pemain lainnya di tepi lapangan. Agus sibuk memberi wejangan, tetapi aku tidak begitu memperhatikannya. Sebab, di lapangan sebelah, pertandingan tim putri sedang berlangsung. Dan Linda sedang akan melakukan pukulan servis. Linda sekarang di tim inti voli putri, dan kelihatannya ia termasuk salah satu pemain yang diandalkan. Rasanya, tidak hanya kedua mataku saja yang terpaku padanya, hampir seluruh mata memandangnya, sehingga seakan seluruh ruang olahraga terdiam menunggunya melakukan pukulah servis.

Dengan tenang, ia memantul-mantulkan bola putih itu. Mulutnya bergerak-gerak tipis mengunyah permen karet. Sebuah kepang kecil panjang berpita yang diikat dekat keningnya bergoyang-goyang. Itu ciri khas Linda. Tangan kirinya sekarang mengangkat bola, pandangannya lurus ke arah lapangan lawan. Sekejap, bolanya sudah terlontar ke seberang, melumpuhkan pukulan balasan lawan. Sorakan menggema. Bola kembali di tangannya. Memang, Linda tampak piawai, sosoknya yang semampai sangat mendukungnya menjadi pemain yang hebat. Ia memang sang primadona lapangan voli hari ini.

Aku tidak lagi memperhatikan permainan di lapangan pertandingan voli putra yang sudah dimulai. Mataku terpaku pada sosok Linda di lapangan sebelah. Sampai pertandingan tim putri selesai, dan sekarang penonton barulah lebih tertarik melihat pertandingan putra. Aku tetap duduk di bangku cadangan, dan tidak perduli apakah akan ikut turun bermain atau tidak. Di posisi belakang kotak servis, tampak Linda duduk di sana dengan beberapa pemain putri. Aku terseyum, saat ia tak sengaja melihat ke arahku. Ia melambai, agaknya ia terperangah melihat aku ikutan duduk di bangku cadangan dengan kaos pemain.

Selang beberapa saat, set pertama usai. Agus mendekatiku, “Do, kamu turun yah. Kaki Dodi agak terkilir, enggak sanggup main lagi.” Aku terkesiap, “Serius Gus, aku turun?”

“Iya, siapa lagi?” Agus memandang galak padaku. Aku melihat ke samping, tidak ada pemain cadangan lagi, karena dua orang selain aku, Dian dan Tommy sudah ada di lapangan menggantikan tim inti. Ini strategi Agus, karena set pertama kami sudah menang, sehingga jika ada set ketiga, maka tim inti sudah pulih tenaganya untuk bertanding habis-habisan.

Aku berjalan menuju posisiku dengan canggung. Rasanya semua mata memandangku. Aku lebih merasa grogi lagi, setelah melihat Dian dan Tommy melakukan gerak-gerak pemanasan dengan meyakinkan. Sepertinya mereka lebih siap, meskipun sama-sama pemain cadangan. Tidak lama, pluit wasit sudah ditiupkan, dan set kedua benar-benar dimulai!

Mataku berusaha mengikuti arah bola, yang diterima Adi, melambung ke Tommy, lalu Alam melompat dan smash pertama berhasil masuk. Semua bertepuk. Aku menghela nafas. Belum ada bola yang mampir ketanganku. Aku melirik ke arah belakang, kulihat Linda memperhatikan dengan serius, entah pada siapa.

“Ayo Do!” Tiba-tiba kudengar seruan, aku berpaling dan bola putih itu melayang ke arahku. Setengah refleks, kulakukan pukulan menyamping dan bola melambung ke arah Dian. Berhasil, aku mulai bisa mengendalikan bola. Namun kali ini lawan berhasil menghentikan kami, maka servispun berpindah. Kali ini, Doni, kapten tim lawan yang bertubuh bak binaragawan yang melakukan servis. Aku terkesiap, ketika ternyata bola mengarah ke posisiku. Oh, tapi tidak, kelihatannya ke arah Sugianto. Aku melirik, Sugi tampak bergerak ragu ke arah bola datang. Tak berlangsung lama, kegugupanku menyebabkan bola jatuh ke tempat kosong. Sugi tampak kesal, “Harusnya kamu ambil Do!” Serunya padaku. Aku hanya bisa mengangkat bahu.

Servis kedua dari Doni. Tampaknya ia tahu, titik lemah tim ada di posisiku. Maka bola kembali melayang ke arahku. Posisi jatuh bola agak tinggi, sehingga aku bingung, apakah akan melakukan passing bawah atau atas atau… Sejenak aku terdiam saat bola itu tahu-tahu sudah jatuh di atas kepalaku. Tapi, benturan di kepalaku terasa lebih keras, seperti bukan kena bola. Pandanganku kabur dan aku langsung tak sadarkan diri.

**********

Aku membuka mataku perlahan-lahan. Memandang sekeliling, hanya ada Agus dan Sugianto di ruang UKS ini.

“Wah, untung sudah sadar. Masih pusing Do?” Tanya Agus.

“Sedikit, emang kepalaku kena apa Gus?” Tanyaku heran, sebab tak mungkin kena bola bisa pingsan.

“Kena sikut Sugi.” Kata Agus sambil tertawa, “Dia takut bolanya lepas lagi, makanya saat dia mengayunkan tangan, tahu-tahu kepalamu dan bolanya jatuh ditempat yang sama. Dia enggak bisa ngerem lagi, jadi yang kena hajar kepalamu, bukan bola. Tahu sendiri tangan Sugi, tangan atlet.”

“Iya Do, sori yah….” Ujar Sugi dengan wajah agak khawatir.

“Sama-sama Gi, kayaknya yang bikin masalah aku, bukan kamu.” Jawabku.

“Oke Do, kamu istirahat aja. Kita mau balik ke lapangan. Pertandingan masih berlanjut.” Kata Agus sambil buru-buru berlalu bersama Sugi, sebelum sempat aku menjawab.

Aku merenung sendirian di atas kasur lipat ini. Tampaknya usahaku untuk mencari perhatian Linda gagal total. Memang dasarnya bukan pemain voli, tapi sok tahu sih kamu Do!

**********

Aku mengikat tali sepatuku dan melakukan perenggangan. Seperti biasa, di lapangan atletik cuma ada aku dan Pak Jamal yang selalu memegang stopwatch.

“Oke Do, siap-siap ya. Hampir dua bulan kamu enggak latihan!” Serunya.

Aku mengangguk.

Mengambil posisi start di belakang garis.

Sempritan Pak Jamal menggema.

Aku melesat.

Pandanganku hanya satu.

Garis itu.

Garis finis.

Berputar balik, Pak Jamal melihat ke arah stopwatch-nya, “Lumayan untuk orang yang sudah dua bulan menghilang.” Ujarnya dari balik kaca mata hitam dan topi pet khasnya. Siang itu kuhabiskan untuk melatih kembali otot kakiku, bersama Pak Jamal. Ketika sore sudah mulai membayang, latihanpun usai. Pak Jamal sudah pulang dengan motor tuanya. Aku duduk sendirian di tepi lapangan, menunggu keringat kering.

“Edo…”

Aku berpaling ke arah asal suara yang memanggil. Aku tertegun, Linda sedang berjalan ke arahku. Masih pakai kaos seragam tim Voli. Hari ini hari Jumat, hari latihan dia.

“Balik ke atletik lagi?”

Aku tersenyum pahit, lalu menunduk.

“Kenapa Do…?” Tanyanya lagi.

Aku rasa tak perlu menjelaskan bahwa memang aku tidak bisa main voli. Bahwa memang aku cuma bisa lari.

“Sebenarnya, aku kagum sama kamu. Kamu satu-satunya atlet andalan sekolah kita.”

Aku mengangkat kepalaku, melihat kearah Linda.

“Betul Do, di voli dan basket kita bukan apa-apa.”

Aku masih terpana.

“Lihat, kamu sendirian bisa mengharumkan nama sekolah. Kami rame-rame, malah enggak pernah menang sekalipun.”

Aku tetap terpana. Kepang kecilnya yang bergoyang-goyang membuatku seperti terhipnotis.

“Jadi buat apa ikutan main voli?”

Aku tak ingin menjawab. Toh Linda juga tidak menunggu jawabanku. Aku berdiri, menatap lurus ke mata Linda.

“Kenapa? Mau nraktir aku es campur?” Tanyanya sambil tertawa kecil.

Aku menarik lengannya, mengangguk.

Linda menggenggam tanganku.

Sore sudah tidak terik lagi.

Dan kami tertawa-tawa di warung es campur di depan stadion.

0 komentar: