Suzuki Spn: MEMPERTAHANKAN BENSIN TETAP IRIT

BENSIN TETAP IRIT

Ada hal yang membuat beda antara Spin dengan skutik lain. Kapasitas mesinnya yang nyampai 125 cc, membuatnya akurasi buka tutup katup dituntut lebih bagus. Sebab cc 125, suplai gas segar mesti stabil agar sempurna diolah menjadi tenaga yang stabil pula.

Dalam hal ini clearance setelan katup yang acap menjadi pedoman wajib untuk mempertahankan power mesin Spin. Sebab, ketika clearance setelan katup mulai kendor, BBM yang ditujukan buat pembakaran jadi berkurang.

Saat melintir handgrip selalu ingin menambah dan menambah, untuk mencapai kecepatan yang diinginkan. “Buat motor bebek kondisi semacam ini, membuat nafas mesin jadi panjang. Tapi buat Spin, malah bikin boros bensin,” terang Irwan mekaniknya Suzuki AFA Motor di Jl. Darmo Indah Barat LL-1, Surabaya.

Ciri khas kondisi setelan katup kendor, pada Spin acap menimbulkan suara ngelitik. Untuk itu mesti disetel ulang setelan katupnya. Ukuran ideal katup masuk jadikan 0,07 mm rapat dan setelan katup buangnya 0,10 mm. “Ukuran ini sesuai dengan hasil riset cocok buat kota-kota dan sekaligus luar kota,” timpal Seno juga mekanik bengkel resmi itu.

Sedang di sektor karbu yang perlu dicermati, yakni bagian needle jet atau dudukan main jet. Perpindahan suhu panas ke dingin pada karbu, sering kali menyebabkan lubang samping needle jet timbul kerak putih-putih.

Kalau sudah begitu, konsumsi udara (secondary) berkurang. Kondisi semacam ini, putaran handgrip mesti dibuka extra lebar untuk mengkail akselerasi lebih ringan. “Sebab pada kondisi stasioner saja, pasokan udara yang dihasilkan minim, ”yakin Seno.

Hal itu juga terkait pada elemen filter model kertas. Mengingat pori-pori elemen yang rapat, maka biasakan memeriksa kondisi elemen filter di setiap 2 minggu sekali. Agar suplai udara (primary) lebih lancar dan tak menunggu dipacau di kecepatan tinggi untuk mendapat tekanan udara yang ideal.

Terlepas dari masalah komponen mesin yang aktif bekerja, di bagian karbu juga ada perangkat piston choke. Di musim penghujan, kadang air bisa masuk ke perangkat choke dan menimbulkan terjadinya kerak.

Sebab, dalam kondisi normal piston choke mesti bebas. Dan kalau sampai piston choke terangkat beberapa millimeter dari kondisi standarnya, sama halnya dengen mempergemuk campuran BBM dan menyebabkan terjadinya bensin boros. “Hal ini bisa ditangkal dengan mengoleskan pelumas di sekeliling piston choke, ”saran Buyung

Keterangan: Biaya service ringan : Rp. 25 ribu

Cerita panas ini bermula dari kisah seorang cewek ABG hot berusia 17tahun yang masih polos dan tidak (belum) tahu apa-apa tentang cerita panas ABG 17tahun.

Cewek ABG tersebut sangat penasaran dan ingin tahu seperti apakah cerita panas ABG yang menurut teman-temannya saking panasnya itu bisa membuat cewek ABG hot seksi dan mesum tersebut tidak dapat menahan gairahnya. Benar saja, cewek itu langsung memerah mukanya setelah beberapa saat membaca cerita seru tentang ABG 17tahun tersebut.

Cewek ABG 17tahun Panas

Bagaimana tidak merasa panas, di cerita tersebut disebutkan bagaimana seorang gadis yang masih berusia 17 tahun tega-teganya membunuh seekor semut hanya karena semut tersebut merayap di kue muffin kesukaannya.

Tubuhnya semakin menggeliat kegelian saat membaca di cerita panas 17 tahun tersebut bahwa gadis tersebut ternyata tidak hanya membunuh satu ekor semut, tetapi tiga semut sekaligus. Maka ia pun langsung menangis dan menghapus file cerita panas ABG 17 tahun tersebut dari komputernya.

Setelah itu gadis ABG 17tahun itu pun merasa lega, karena panas yang ditimbulkan cerita tersebut berhasil berkurang sedikit demi sedikit. Ia pun jatuh tertidur walaupun udara saat itu sedang panas dan hot-hotnya. Tidak lama setelah itu sayup-sayup Ia mendengar suara seperti orang sedang bercerita. Lalu tubuhnya terasa geli sehingga Ia menggelinjang manja. "Jangan...", katanya dengan suara yang berusaha terkesan tegas tetapi nafasnya semakin memburu seperti seorang perempuan sedang membaca hot story. "Oh.. Ssshh..." tanpa sadar Ia mulai mengeluarkan desahannya. "AUW..!", gadis ABG itu lalu berteriak karena sudah tidak tahan lagi sambil mengelus jarinya yang terasa gatal.

"Semut kurang ajar! Gadis seksi lagi bugil tidur kok tangannya digigit!", kata cewek tersebut sambil merem lagi melanjutkan tidurnya.. - Cerita Panas ABG 17tahun

Kampung “B”, orang-orang disana adalah purnama di gelap gulita. Anak-anak mereka tidak mengenal anjing yang diucapkan lewat srapah,wanita-wanitanya adalah maWar-mawar tanpa duri dan memberi wangi kepada siapa pun jIka sempat lewat ke sana, lelaki-lelakinya adalah kupu-kupu warna-warni dimana mereka memperlakukan hidup seperti mereka mengisap madu tanpa memberi kesan rusak apalagi mencabik tempat yang dihinggapinya, orangtua-orangtuanya seperti sufi-sufi bijak berjubah putih. Segalanya serba sempurna. Kampung dewa-dewi, seperti di kahyangan.

Hidup mereka hanya meneruskan kebiasaan leluhurnya saja, dimana tidak ada batas pemisah antara, sungai dan gemercik air, pepohonan dan semilir angin, pesaWahan dan cicit emprit, kebun-kebun dan lompat belalang. Dimana suhah tidak ada lagi pembatas antara tanah yang mereka injak dengan kaki-kaki mungil namun santun. Berteduh di bawah pohon beringin pun, orang-orang tidak serta merta selonjor di baWahnya, tapi selalu berbisik lembut pada setiap pepohonan; ” Aku ikut Berteduh disini…”. Betul, dalam pandangan kalian hidup di kampung ”B” tampak serba ribet, namun percayalah seperti itulah inti dari kehidupan , saling percaya dan memperlakukan selain diri kita seperti memperlakukan diri sendiri.

Orang paling dituakan di kampung kaki gunung Gede itu adalah Sobri, lebih dikenal dengan sebutan Abah. Semua orang merasa ajrih kepadanya. Orang bilang Abah bisa berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur. Kesahajaan dalam hidup memang diperlihatkan abah pada mereka. Abah, lelaki berumur 102 tahun itu, selama hidupnya belum pernah menyakiti siapa pun.

Abah tinggal di sebuah gubuk sederhana yang terbuat dari bambu. Permukaan gubuk, dinding-dindingnya terlihat licin seperti dijilati. Sebuah kolam ada disana, sekeliling rumah ditumbuhi bunga, pohon melinjo, nangka, dan belimbing berdiri kokoh di belakang rumah.Di hari tertentu Abah dan orang-orang melakukan pertemuan. Mereka membicarakan hal-hal sederhana dalam kehidupan, tanpa didasari oleh peraturan-peraturan, tanpa perdebatan ketika ada pendapat yang berbeda. Saling menghormati isi kepala masing-masing.

Pada suatu hari, Abah pernah berkata.” Saatnya nanti, kita akan terusir dari sini…” Katanya, ada linangan air mata, ” Kalaupun tidak terusir , kita akan diberi pilihan, meninggalkan kejujuran dan menggantikannya deng-kepalsuan, mengoyak rasa tanggungjawab dengan saling menyalahkan, mencabik kepolosan dengan sikap sok tahu. Generasi saat itu akan dipenuhi obral janji tanpa bukti, anak-anak kita akan memburu kita.”

” Kita sebaiiknya bagaimana , Abah?” Tanya salah seorang.

” Tidak perlu memaksa diri, kita bersikap seperti saat ini saja.” Jawab Abah sederhana.

Kawan, delapan puluh tahun telah berlalu. Kampung ”B” sudah setarap dengan ibu kota Kecamatan. Ramai benar. Keramaian itu bermula ketika pemerintah mendirikan pasar mingguan di sebelah Utara kampung. Mereka mulai tidak asing lagi dengan truk, televisi, dan sepeda motor. Seorang anak pernah membawa golok dan mengancam ibunya agar dibelikan sepeda motor. Pak, Juhma kemarin kena tipu oleh orang berdasi.

Namun di tengah kebisingan itu, selalu ada ketenangan pada akhirnya, walaupun sesaat saja.

Setiap malam, kalian akan melihat beberapa orang berjubah putih duduk berkeliling di bawah rimbun dan rapatnya pepohonan. Seorang sepuh duduk di antara mereka. Saya adalah salah satu di antara mereka. Kelak jika kalian melihat, dengan mata kasar, kalian tidak akan melihat mereka sebagai orang-orang berjubah putih, kalian hanya akan melihat harimau-harimau besar, tapi percayalah , kalian tidak perlu takut, mereka tidak akan menyakiti siapa pun. Percayalah …

Ach....tiba-tiba dada ku terasa sakit ketika menginngat kamu.
"oh..tuhan kenapa aku selau dihantui ras bersalh kapadanya,aku ingin meminta maaf padanya tapi bagaiman caranya kemana aku harus mencari dia"kata ku dalam hati ku saat merasakan dadaku sakit kerika mengingat aku pernah menyakiti hatinya saat itu.
saat itu tiba-tiba kamu datang pada ku,saat itu aku senag sekali mendpatkan kabar dari mu dan kau pun datang kembali pada ku tapi saat itu aku telah menjalin hubungan dengan orang lain.
saat itu sebemarmya aku ingin sekali kembali bersam mu dan meninggalkannya karena orang yang selama ini aku tunggu adalah kamu tapi saat itu juga aku tidak bisa meninggalkannya karena saat itu aku akan menikah dengannya.dan aku terpaksa memutuskan hubungan kita,padahal selama bertahun-tahun yang aku tunggu hanyalah kamu.
aku menunggu mu selama bertahun-tahun tapi kamu tak pernah kembali dan tak pernah sekali pun memberikan kabar.hingga suatu hari ada seseorang yang mampu mencuri hati ku dari mu.tapi sungguh aku menyesal memutuskan mu karena setelah aku memutuskan mu tiga bulan kemudian dia pun memutuskan hubungan kami dan kami pun tidak jadi menikah.sunngguh aku baru menyadari kalau aku begitu jahat dan begitu tega kepada mu saat itu.
sungguh aku baru menyadari kalau kamu lah yang terbaik untuk ku,kamu yang selalu mengerti aku,kamu yang selalu menjagha aku,membimbing aku dan kamu lah yang pria yang selalu menyangi ku dengan sepenuh hati.
hari ini tiba-tiba bos ku mengajak ku pergi ketempat kerja yang ada ditanggerang,aku kerja disebuah warnet dekat rumah dan bos ku baru satu bulan membuka warnet di daerah tanggerang.selama satu bulan bos membuka warnet ditanggerang aku sama sekali belum pernah tahu keadaan warnet disana.dan hari ini bos mengajak ku pergi kewarnet yang ada ditanggerang mengambil laporan dari teman ku yang menjaga warnet disana.
aku senang sekali diajak bos kesana karena selain aku bisa tahu warnet baru bos aku juga berharap bisa bertemu dengan dia disana,karena kabar terakhir yang aku dengar dari dia,dia tinggal dan bekerja ditanggerang saat itu.
aku dan bos pun sampai ditempat tujuan,aku bertemu dengan teman ku yang menjaga warnet disana,kami pun bertegur sapa.
"Hai..apa kabar"kata ku ketika melihatnya
"Ah...mba..apa kabar"dia pun bereaksi sama senangnya dengan ku
kami pun berbincang-bincang dan karena selam ini teman ku jaga sendirian dari pagi hingga malam aku bersedia membantunya menjaga warnet hari ini.
dan tiada kusangka dan tida ku duga tiba-tiba adaseseorang yang akan bermain diwarnet bos ku.seseorang yanng aku sangat kenal dan seseorang yang sudah lama tidak bertemu,itu adalah dia.....
"Kamu..."kata ku seolah tak percaya ketika melihatnya
dan dia pun bereaksi sama dengan ku ketika kami bertemu lagi setelah sekian lama.tapi reaksi begitu dingn kapada ku mungkin dia masih sakit hati pada ku karena aku telah menyakiti hatinya.
aku membantunya bermain internet saat dia mengalami kesusahan dalam bermain dengan komputer.tapi kami berdua seperti orang yang sama sekali tidak pernah mengenal.
dan pada saat aku membantunya membuka internet tanpa sengaja ketika aku memegang mouse tangn kami saling bersentuhan,dia memandang ku tapi aku tidak mengiraukannya.aku tidak menghiraukannya karena aku masih merasa bersalah kepadanya.
saat dia selesai bermain dan akan membayar,entah kenapa aku tiba-tiba berani berbicara dengannya.
"Maaf..boleh aku tahu nomor hp mu?"tanya ku gugup
"Untuk apa?"tanyanya ketus
"Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu"
"Kenapa tidak disini saja"dia tetap ketus
"Hmf....."aku menghela nafas"baiklah kalau itu yang kamu mau"kata ku dan dia pun sabar menunggu ku
"Maafkan aku karena telah menyakiti hatimu dan aku tidak pernah menyesal mengenal mu"
dia terperangah mendengar kata-kata ku
"Kau tidak menyesal mengenal ku?"tanyanya"maksudnya apa"tanyanya bingung
"Ya...aku tidak menyesal mengenal mu"

NYELAMA SAKAI

Cerpen Amien Wangsitalaja

Petikan sampe mulai mendenting-denting. Kanjet nyelama sakai dimulailah sudah. Dan kembali aku menyukai lagi keberadaanku di sini. Tarian itu menyambutku lagi. Dan seperti dulu, aku selalu akan menunggu dengan hati berdenyar datangnya kanjet manyam tali, karena tarian itu memiliki kekuatan tertentu untuk mengaduk-aduk rasa, seolah melemparkan tali pengikat kepadaku untuk aku selalu berada di bawah pengaruh gendamnya sehingga tak bisa keluar dari mencintai tempat ini.

Aku merasakan kenikmatan itu, kenikmatan diikat oleh sesuatu yang samar-samar tapi terasa, agaknya, sungguh-sungguh eksotik. Aku bahkan mengangankan suatu saat diriku betul-betul dilempari selendang oleh satu dari para penari itu sehingga aku bisa merasakan aroma keringatnya dari dekat. Tapi, ini bukan ronggeng, dan tentu saja karenanya di sini tak ada konsep nibakake sampur. Ah, sayang.

Jangan-jangan, aku sebetulnya memang ingin, suatu ketika, berkenalan dengan satu dari para penari itu. Kami akan duduk diam berdua sambil masing-masing mencoba meraih pesona. Atau, bercengkerama di lantai ulin. Kuharap ia akan membubuhkan buluh perindu ke gelas minumku.

Betul, rupanya aku menyukai kota ini. Kukira Samarinda hanyalah kota yang kumuh. Di banyak tempatnya terlalu berdebu, di banyak tempat yang lain terlalu banyak digenangi air yang baunya busuk menyengat. Tapi, kutatap secara samar-samar warna eksotika. Betul.

Sebagaimana aku membayangkan dapat mencicip bau keringat penari itu atau merasakan aroma napasnya yang tidak memburu, aku memang menyukai sesuatu yang eksotik. Penari itu. Kota ini. Sedang kamu, Naf? Aku sering tersiksa sendiri jika sampai sekarang aku masih saja gagal menemukan eksotika itu. Kamu.

Saat itu, enam bulan lalu, aku masih saja kesulitan mencari kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu, ketika kamu dengan ringan meniupkan kata-kata yang membuatku tersentak.

"Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!"

"Naf...?!"
"Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu."

"Naf...?!"
Kamu selalu pintar mengalihkan persoalan. Waktu itu aku memang sedang jijik dengan kota ini. Bukan kota ini yang salah, tapi aku tiba-tiba merasa muak tinggal di dalamnya.

Aku mungkin tidak akan pernah menginjakkan kaki di kota ini jika bukan karena aku diterima bekerja di sebuah lembaga riset milik negara, yang bergerak di bidang penelitian bahasa. Aku sendiri seorang penikmat sastra dan budaya. Ketika beroleh berita akan ditempatkan di wilayah timur Borneo, hatiku terlonjak. Aku telah mendengar di wilayah itu terdapat beragam sikap dan hasil kebudayaan yang masing-masingnya didukung oleh komunitas etnis tertentu dengan eksotikanya tersendiri.

Langsung kubayangkan asyiknya tantangan untuk menyelami wilayah etnis ini. Aku akan bergumul dengan pekerjaan yang menuntut pelibatan diri yang tinggi. Ya. Kuakui, aku terobsesi dengan grounded research. Aku akan menikmati keasyikan tinggal bersama komunitas Kenyah, Tunjung, Kutai, Berusu, Benuaq, atau yang lainnya dan belajar hidup bersama mereka sambil menyerap inspirasi kultural maupun estetik untuk kemudian mencoba merumuskan apa yang bisa kutemukan dari pergaulan dengan mereka itu. Aku menyukai pedalaman dan eksotika. Selain itu, aku pastilah juga tidak akan lupa meneliti masyarakat Banjar yang banyak diam di perkotaan. Amboi.

Kekecewaan demi kekecewaan mulai menghampiriku. Bagaimanapun, aku kembali tersadarkan bahwa diriku sedang berada di sebuah lembaga milik negara, aku pegawai negara, orang bilang PNS. Dan meskipun lembaga yang kutempati ini bergerak di bidang riset dan keilmuan, tetaplah ia instansi negara. Dan instansi negara, kamu tahu, selalu saja banyak memiliki catatan reputasi moral yang tidak mengasyikkan. Aku harus mulai mengerti, seilmiah apa pun nama lembaga ini, praktik-praktik korupsi, pungli, dan manipulasi akan banyak terjadi.

"Dana untuk penelitian mandiri kalian memang dua juta empat ratus ribu rupiah, yang harus kalian tanda-tangani di kuitansi nanti. Tapi, harap kalian bisa memahami jika uang yang nanti diterima oleh kalian hanya maksimum separonya. Kantor mengambil sekian rupiah dari dana itu untuk membayar penilai proposal dan membayar konsultan. Selain itu, kantor juga akan memungut biaya pengetikan laporan...."

Padahal, aku tahu, pos pemotongan dana untuk penilaian proposal, pengonsultasian, maupun pengetikan laporan itu sama sekali tidak ada dasar hukumnya. Itu semata retorika pejabat melakukan eufemisme terhadap praktik pungli. Pada intinya, birokrasi ingin mengambil uang pungutan dan supaya tidak terkesan liar maka dibuatlah pos-pos penarikan dengan istilah yang sepintas lalu terlihat rasional. Aku sempat menanyakan ke kawan-kawan di lembaga riset sejenis di kota lain dan mereka menjawab di tempat mereka tidak ada pos pemotongan untuk biaya penilaian proposal, sementara untuk menghadirkan konsultan juga tidak diwajibkan.

"Percayalah, aku mendukung sepenuhnya rasa jijikmu terhadap instansi tempatmu bekerja, lembaga riset itu."

"Naf...?!"
Rupanya kamu pintar membaca emosiku. Dan kamu tampak lebih dewasa hari itu, sebagaimana aku bisa merasakannya dari napasmu yang tidak memburu. Saat itu, aku sedang belajar meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Tapi....

Barangkali, memang aku jijik dengan instansiku: lembaga riset, lembaga ilmiah, tapi suasananya sama sekali tidak ilmiah. Tepatnya, diksi-diksi ilmiah seringkali dipakai hanya sebagai tudung dari yang sebenarnya hanyalah semata "proyek penghabisan anggaran negara". Peneliti murni yang bekerja untuk motivasi ilmiah justru akan banyak menderita sakit hati di sini.

"Kantor ini tidak membutuhkan orang yang pandai, tapi kantor ini membutuhkan orang yang sopan!"
Itulah statemen paling menjijikkan yang tak mungkin kulupakan. Kamu boleh tersenyum nyinyir jika statemen semacam itu keluar dari seseorang yang mengendalikan sebuah lembaga riset. Saat itu aku memang dibenci oleh atasanku karena dianggap tidak berdisiplin. Disiplin, dalam pemaknaannya yang verbalistik-lipstik, kamu tahu, adalah salah satu kata kunci yang sering dipakai oleh birokrasi Orde Baru untuk membekukan akal sehat dan mematikan apresiasi intelektual. Dan itu masih berlaku di sini.

Bagiku, sebagai peneliti aku harus banyak menggali pengetahuan dan inspirasi dari lingkungan dan masyarakat yang akan diteliti. Peneliti juga harus terlibat dengan wacana yang tengah berkembang di masyarakat. Artinya, peneliti harus menggelandang dan banyak bertandang. Peneliti harus berinteraksi dengan objek yang ditelitinya. Itulah kedisiplinan dan tanggung-jawab seorang peneliti, menurutku. Disiplin bagi seorang peneliti tentu berbeda dengan disiplin bagi pegawai administrasi.

"Ini bukan tawaran. Peraturan mengharuskan kalian untuk memenuhi 38 jam masuk kerja untuk setiap bulan. Jadi setiap pukul 7.30 pagi kalian harus ikut apel pagi dan baru pulang setelah pukul 16.00."

Kamu juga tahu, di kantorku tidak ada buku-buku referensi kecuali buku-bukuku sendiri. Komputer juga cuma satu. Kamu jangan tertawa mengejek dulu, ini kenyataan. Kamu mungkin heran ke mana larinya uang proyek senilai sekian M itu. Jangan heran, pengadaan fasilitas komputer dan buku referensi, yang sebetulnya teramat primer bagi seorang peneliti, bukanlah yang diutamakan di sini. Begitulah, dan ini memang lembaga riset. Dan disiplin bagi peneliti di lembaga riset adalah apel pagi dengan memakai seragam rapi, duduk bengong di ruangan sampai sore (bagi yang perempuan sambil sesekali memperbaiki dandanan dan menebalkan ulang warna lipstik yang hilang), pulang, ke mal sebentar, tidur, bangun pagi-pagi, apel pagi, bengong lagi.... Sekali-kali jangan sok berdiskusi yang ilmiah, itu tidak sopan di mata atasan.

Kamu pasti marah kalau aku dibilang bukan orang yang suka kedisiplinan, karena kamu tahu sendiri, aku lebih sering cerewet mengingatkanmu untuk segera sembahyang atau segera menyelesaikan membaca sebuah novel. Yah, rasanya aku sangat sering beropini di depanmu, kedisiplinan adalah penegakan komitmen keilmuan dan pengabdian pada rakyat, penegakan nilai moral, penjunjungan hukum, penanaman kejujuran dan keadilan, bla bla bla.... Tapi, kenaifan-kenaifan memang selalu sering terjadi, Naf. Peneliti yang dianggap berdisiplin ternyata adalah peneliti yang rajin ikut apel pagi, meski ia tidak memiliki komitmen pada dunia keilmuan, meski orientasi yang ada di kepalanya hanyalah bagaimana bisa menghabiskan anggaran dana rutin atau dana proyek.

Bukankah seorang intelektual harusnya lebih mengejar peran sebagai moral oracle, orang bijak penjaga moral? Opinimu waktu itu. Aku tak membalahmu. Dan kau mengumpat bahwa banyak dari mereka yang bergerak di dunia intelektual tergelincir menjadi tak lebih dari servant of power, budak-budak kekuasaan. Nah, kau pintar, Naf. Dan kepintaranmu makin mendorongku untuk muyak dengan semua ini.

Akhirnya, aku memang mulai jengah dengan kota ini. Apalagi hubunganku denganmu selalu saja belum bisa seasyik yang kubayangkan. Aku mengangankan penari itu. Eksotika. Aku menginginkan ada yang membubuhkan buluh perindu di gelas minumku. Tapi, kamu telah dengan lancang nyelonong mencuri hatiku. Naf...

Betapa akrabnya canda kita setiap menaiki taksi kuning itu. Dan kamu selalu senang mengantarku ke lamin Pampang, menengok tarian. Betapa akrabnya diam kita setiap prosesi tarian bermula dari nyelama sakai. Aku suka penari-penari itu, tapi candamu menjebakku. Setiap pulang dari lamin kamu selalu memastikanku untuk meneruskan keakraban itu di rumahmu. Kita berdiskusi banyak hal. Dan napasmu tidak memburu. Tapi, aku sering khawatir setiap aku belajar mencari-cari warna eksotik dari inner beauty-mu. Aku mengangankan penari-penari itu. Betapa tidak asyiknya aroma kota dari bau mandimu, meski ketika berdiskusi banyak hal aku selalu bisa mencicipi asyiknya napasmu yang tidak memburu.

Kamu mengasyikkan justru ketika kamu terlalu cepat memutuskan.
"Berpisah akan memungkinkan kita lebih mahir marajut angan dan kemungkinan-kemungkinan!"

"Naf...?!"
Aku memang jengah dengan kota ini hanya karena rasa muakku setelah idealismeku sebagai peneliti dibunuh justru oleh lembaga kepenelitian tempatku bekerja di kota ini. Etika ilmiah dibunuh oleh instansi yang mengatasnamakan lembaga ilmiah. Aku memang risih bergaul dengan para pemuja "proyek" yang mencampakkan intelektualitas. Aku mungkin memang harus melupakan dulu kota ini. Tapi, apakah harus aku melupakan kecerdasan yang selalu meriah yang kuasyiki dari napasmu yang tidak memburu itu? Naf...?

Petikan sampe telah lama berhenti. Pengunjung juga sudah beranjak, sebagian keluar lamin, sebagian menuju sisi kiri lamin dan mulai menawar-nawar aksesori ataupun ramuan-ramuan a la Kenyah yang dijajakan di lantai lamin. Aku mulai beranjak. Aku sebetulnya masih ingin berlama mencuri cium aroma keringat penari-penari itu, tapi kamu sudah akan menunggu di taman di tepi sungai, sore ini. Mahakam.... Naf....

Aku juga heran, kenapa kamu hari ini tidak mau menyambutku dengan menemaniku mengulang memori ini. Menengok penari-penari. Padahal, sudah enam bulan kita tidak pernah bersama-sama melakukannya sejak aku harus memutuskan meninggalkan kota ini dan menyembunyikan alamatku di pulau seberang. Aku masih meninggalkan nomor ponselmu. Dan aku betul terlonjak ketika dua hari lalu kau menghubungi nomorku, meminta bertemu.

Mulanya aku agak ragu untuk kembali menginjak kota ini. Rasa kecewa dengan instansiku dulu, dengan ketidakintelektualan birokrasinya, masih kusimpan. Tapi, aku memang diam-diam selalu digelisahkan rindu. Kecerdasanmu. Napasmu yang tidak memburu. Dan, o, barangkali kita masih akan berbalah soal keringat penari-penari itu, juga buluh perindu.

Aku telah mencapai taman di tepian sungai ini setelah harus berganti taksi tiga kali. Seperti anak kecil, aku berlari-lari kecil menyusuri wajah-wajah yang sedang bersantai. Pastilah kamu, Naf, akan kujumpa lagi. Dan memang aku tidak sulit untuk menandaimu. Kira-kira sepuluh kaki di sebelah kiri kulihat kamu duduk menyendiri.

Aku mengumpat dalam hati karena rupanya kamu selalu saja memulai pertemuan dengan canda. Ya, pastilah kamu bercanda dengan menyembunyikan kejutan hadiah di sebalik jubahmu itu. Teramat besar rupanya volume hadiah yang akan kamu kejutkan untukku itu sehingga seolah kamu sedang mendekap sebuah bantal kecil di perutmu. Ayo, keluarkan, Naf, kutebak itu boneka penari atau....

Akan tetapi, senyummu menampakkan canda yang serius. Dan aku betul-betul terkejut.

"Naf...?!"
"Ya, penari kecilmu."
"Naf...?!"
"Ya, tujuh bulan."
"Naf...?!"

Aku tidak sempat membalah kenapa kamu tidak mengatakannya sejak enam bulan lalu. Aku terpaku dalam sugun. Sekali ini aku telah benar-benar bisa meraba dan merasakan kemungkinan-kemungkinan eksotik yang muncul dari auramu. Keringatmu melebihi keringat para penari itu, melebihi buluh perindu. Napasmu juga tidak memburu. Aku terjebak dalam eksotisme yang akut. Kukira aku telah begitu saja melupakan kekesalanku atas penolakanmu siang tadi untuk menemaniku menengok nyelama sakai dan mencuri bau keringat para penari.

"Aku akan mempersembahkan nyelama sakai dan manyam tali sekaligus, khas untukmu sore nanti. Kita bertemu saja di taman itu. Ingat, jangan dulu datang ke rumah. Tarian penyambutanku itu lebih nyaman kauasyiki di taman. Nanti sore, pukul lima, jangan terlambat."
"Naf...."

Kupu-Kupu Tidur

Cerpen Wawan Setiawan

Kupu-kupu itu bersayap kuning, terbang ke sana kemari di tanah samping. Coba lihat, ia sedang mencari sesuatu, di balik daun bunga sepatu. O, ternyata benar, ia sedang menitipkan telurnya. Nanti telur-telur itu jadi ulat. Ulat-ulat itu merayap dari daun ke daun. Memangsa daun-daun itu, nyaem nyaem nyaem, ia besar, gemuk, lalu masuk ke kepompong. Nah sudah. Coba lihat, dari satu ujung lubang kepompong, lepaslah seekor kupu-kupu, warnanya kuning, seperti induknya.

Aku mengimajikan proses itu. Sebuah proses alami. Alam telah menyediakan segala sesuatunya, agar semuanya dapat berproses, tentu secara alami pula. Kupu-kupu kuning tadi telah pergi, ke halaman rumah tetangga. Di samping rumah ada sirsak, pisang, mangga, dan pepaya. Ada juga bluntas dan gambas. Di bawah pohon dan perdu itu, sedikit menghampar rumput hijau, halus, enak di kaki. Di halaman depan, sama, ada rumput hijau. Di atasnya, ada pepaya, alamanda, cemara pipih, dan melati. Tanaman itu mengisi hari-hariku, ya di tengah-tengah alam semesta yang besar dan "tenang" ini, aku ditimpa keraguan, kebimbangan.

"Hesti, aku sudah mempertaruhkan hidupku, tapi jalan hidup ternyata lain. Aku tak sanggup lagi mampir di rumah kita, yang konon bertabur bintang berjuta. Berbulan bundar, persis harapanku. Tapi bulan dan bintang di rumah kita adalah milikmu. Aku ditakdirkan tidak memilikinya."

Itu ucapan Sapto. Lelaki itu kemudian tak lagi kembali. Sapto telah pergi, lenyap ditelan kebiruan gunung. Sapto mengembara dari gunung ke gunung yang konon wilayah warisan nenek moyangnya.

"Ya, Sapto, bila itu jalan hidupmu, pilihanmu, setialah pada janjimu, pada dirimu. Aku tak kuasa. Jalan hidup kita memang beda. Memang telah kuserahkan diriku padamu, tapi tampaknya tak dapat penuh. Kuserahkan diriku hanya separuh, dan kau menerimanya juga dengan separuh dirimu. Kita sama-sama mengerti. Dan akhirnya memaklumi. Di tengah alam semesta yang besar ini, aku akhirnya sendiri. Bapak ibuku sudah pergi. Adik satu-satuku sudah dibawa suami. Di rumah ini, bagai seorang paranormal, aku merajut masa depan yang gambar-gambarnya samar-samar."

Tak kusadari air mata menetes, tak banyak, hanya satu dua. Tapi itu sudah cukup. Keterharuanku pada jalan hidupku membuatku mengerti, bahwa setiap orang akan digiring kepada jalan hidupnya masing-masing. Ada yang ikhlas menerima, ada yang memberontakinya.

Lelaki itu dulu kutemui di bangsal sebuah gedung teater. Saat itu ada latihan drama. Saat itu aku baru lulus sarjana akuntansi. Meskipun aku suka hitung-menghitung, aku juga suka nonton drama. Bahkan latihan sebelum main, kutonton juga. Itu seperti kita kalau makan kue Hari Raya yang akan dipanaskan dalam van. Rasanya sudah enak, dan memang sudah bisa dinikmati. Dalam kisah drama yang kutonton, ada bagian peristiwa yang menampilkan sisi kehidupan seorang paranormal. Dikisahkan, paranormal pamit pada istrinya untuk bertapa di sebuah lereng gunung di selatan kota. Tapi pertapanya gagal karena tergoda seorang wanita. Sang pertapa kemudian kembali lagi menjadi orang biasa. Entah dari mana Sapto tahu ada latihan drama di Gedung Pemuda pusat kota itu. Sapto sendiri hanya tamat SMA. Ia memilih belajar sendiri dari hal-hal yang dia sukai, dan sangat antusias dengan astronomi, astrologi, serta ekonomi makro. Selain itu, ia menggandrungi puisi dan pijat refleksi. Mungkin background inilah yang mendorongnya datang ke Gedung Pemuda.

Waktu itu, entah bagaimana, aku dan Sapto terlibat diskusi perihal paranormal yang tergoda tadi. Dari diskusi itulah, perkenalan berlanjut. Sapto ternyata orang yang sangat menyayangi tubuhnya. Setelah pernikahan, ia pelit berhubungan seks. Alasannya, tubuh adalah kuil Tuhan, rumah ruh berdomisili. Dan jika ruh menempati sebuah tubuh, itu merupakan perjuangan yang sangat berat, sungguh berat. Sang ruh harus bernego dulu dengan para malaikat pengurus kelahiran. Karena begitu banyak ruh yang ingin atau harus lahir di bumi, maka negosiasi sungguh alot. Dihitung dulu talenta, kemungkinan-kemungkinan prestasi, fleksibilitas dengan cuaca tempat tubuh dilahirkan, atau komplikasi-komplikasi yang mungkin muncul dengan keluarga inti, keluarga besar, suku, dan masyarakat luas. Melihat kesulitan negosiasi, dan kecermatan seleksi di dunia sana, Sapto sangat bersyukur telah bisa lahir ke bumi. Karena itu, sekali lagi, Sapto sangat menghormati tubuh. Tubuh tak boleh semena-mena dikorbankan demi sensasi seks yang tak kunjung habis.

Hernowo? Ya, dialah itu, Hernowo. Lelaki itu adalah suami keduaku. Aku bertemu dengannya, lagi-lagi, ketika ada acara latihan drama. Waktu itu pagi nan dingin, di pinggirian kota, sebuah kelompok teater sedang berlatih pernapasan. Aku diajak seorang teman, aku ikut namun sekadar menonton; sambil baca-baca koran pagi, kudengar mereka teriak-teriak. Mereka disadarkan oleh Hernowo: baik ketika udara masuk atau keluar, yang bergerak hanyalah Tuhan. Dengan sugesti itu, mereka tak hanya diingatkan oleh pentingnya udara, namun juga oleh pentingnya "Tuhan".

Hernowo adalah seorang suami yang nafsu seksnya kuat. Mungkin dampak dari latihan pernapasan digabung dengan bawaan dari sono-nya. Tak seperti Sapto yang kikir seks, Hernowo boros. Sehingga sering aku dibikin kewalahan.

"Hesti, kecerdasanku adalah maksimal. Namun tampaknya aku kewalahan meladenimu diskusi. Semangat hidupku terlalu besar, sayang kurang diimbangi daya intelektual." Demikian pengakuan Hernowo suatu malam, setelah melakukan hubungan suami istri entah yang ke berapa ribu kali.

"Tapi kau pelaku yang baik, man of action. Kamu mampu menghimpun orang-orang, menggerakkan mereka, meski gerakan mereka di atas panggung. Aku lega dipertemukan Tuhan bersuamikan dirimu." Demikian hiburku pada malam yang lain sambil melap-lap tubuhnya yang penuh keringat. Kusuapi dia dengan STMJ khas diriku seperti yang diminatinya.

Sebenarnya aku sudah mulai bisa tinggal di dalam hatinya. Dia juga sangat kerasan hidup di hatiku. Tapi sayang seribu sayang, melalui cerita seorang teman, dan juga aku pernah tahu sendiri, Hernowo masih punya waktu berpacaran dengan salah satu anak buah teaternya. Kerinduanku pada keindahan romantisme perkawinan pupus sudah. Mungkin karena dia menganggapku janda yang kesetiaannya sudah terkoyak.

"Sudahlah, sudah. Kau bisa bayangkan sendiri, di sudut kamarmu yang remang-remang, bahwa akhirnya aku bercerai dengan Hernowo. Hernowo itu terlalu alamiah. Termasuk dalam hal bercinta. Tak apalah. Biarlah semua mengalir, Pantha Rei. Aku mengalir. Sapto mengalir. Hernowo juga mengalir."

Kembali mataku menangkap kepak kupu-kupu kuning itu dengan kesepianku yang lengkap. Aku tak mau lagi jadi ulat. Aku ingin jadi kupu-kupu. Ulat merayap dari daun ke daun. Kupu-kupu itu terbang dari bunga ke bunga, taman ke taman. Aku ingin terbang. Dan ini yang penting, aku tak ingin memakai dua sayap yang di situ ada Sapto dan Hernowo. Dulu aku terbang dengan sayap Ibu dan Bapakku. Kemudian aku terbang dengan sayap Sapto dan Hernowo. Aku ingin menciptakan sayap sendiri, sayap khas Hesti. Mungkin bahan bakunya dari Ibu, Bapak, Sapto, dan Hernowo, atau yang lain.

Dalam kesepianku, kini, aku menekuri diriku yang sibuk merajut sayap. Tak apa, mumpung angkasa masih menyediakanku ruang. Diriku belum sama sekali hampa. Lingkunganku masih tertawa dan terbuka. Kotaku, meski tetap angkuh, toh masih mau menyapa.

Kulihat diriku menekuri diriku. Di sela-sela berbagai daunan berembun, bagai peri, aku mulai melesat dari daun ke daun. Dan kulihat dari pohon ke pohon. Sedang di atas angkasa membuka mulutnya yang tak bertepi, dibanjiri sinar mentari.

Pagi Bening Seekor Kupu-Kupu

Cerpen Agus Noor

1.
AKU terbang menikmati harum cahaya pagi yang bening keemasan bagai diluluri madu, dan terasa lembut di sayap-sayapku. Sungguh pagi penuh anugerah buat kupu-kupu macam aku. Kehangatan membuat bunga-bunga bermekaran dengan segala kejelitaannya, dan aku pun melayang-layang dengan tenang di atasnya.
Sesaat aku menyaksikan bocah-bocah manis yang berbaris memasuki taman, dengan topi dan pita cerah menghiasi kepala mereka. Aku terbang ke arah bocah-bocah itu. Begitu melihatku, mereka segera bernyanyi sembari meloncat-loncat melambai ke arahku, "Kupu-kupu yang lucuuu, kemana engkau pergiii, hilir mudik mencariii…"
Aku selalu gembira setiap kali bocah-bocah itu muncul. Biasanya seminggu sekali mereka datang ke taman ini, diantar ibu guru yang penuh senyuman mengawasi dan menemani bocah-bocah itu bermain dan belajar. Berada di alam terbuka membuat bocah-bocah itu menemukan kembali keriangan dan kegembiraannya. Taman penuh bunga memang terasa menyenangkan, melebihi ruang kelas yang dipenuhi bermacam mainan. Sebuah taman yang indah selalu membuat seorang bocah menemukan keluasan langit cerah. Ah, tahukah, betapa aku sering berkhayal bisa terbang mengarungi langit jernih dalam mata bocah-bocah itu? Siapa pun yang menyaksikan pastilah akan terpesona: seekor kupu-kupu bersayap jelita terbang melayang-layang dalam bening hening mata seorang bocah…
Aku pingin menjadi seperti bocah-bocah itu! Menjadi seorang bocah pastilah jauh lebih menyenangkan ketimbang terus-menerus menjadi seekor kupu-kupu. Alangkah bahagianya bila aku bisa menjadi seorang bocah lucu yang matanya penuh kupu-kupu. Terus kupandangi bocah-bocah itu. Alangkah riangnya. Alangkah gembiranya. Uupp, tapi kenapa dengan bocah yang satu itu?! Kulihat bocah itu bersandar menyembunyikan tubuhnya di sebalik pohon. Dia seperti tengah mengawasi bocah-bocah yang tengah bernyanyi bergandengan tangan membentuk lingkaran di tengah taman itu…
Seketika aku waswas dan curiga: jangan-jangan bocah itu bermaksud jahat --dia seperti anak-anak nakal yang suka datang ke taman ini merusak bunga dan memburu kupu-kupu sepertiku. Tapi tidak, mata bocah itu tak terlihat jahat. Sepasang matanya yang besar mengingatkanku pada mata belalang yang kesepian. Dia kucel dan kumuh, meringkuk di balik pohon seperti cacing yang menyembunyikan sebagian tubuhnya dalam tanah, tak ingin dipergoki. Mau apa bocah itu? Segera aku terbang mendekati…
Aku bisa lebih jelas melihat wajahnya yang muram kecoklatan, mirip kulit kayu yang kepanasan kena terik matahari. Dia melirik ke arahku yang terbang berkitaran di dekatnya. Memandangiku sebentar, kemudian kembali mengawasi bocah-bocah di tengah taman yang tengah main kejar-kejaran sebagai kucing dan tikus. Aku lihat matanya perlahan-lahan sebak airmata, seperti embun yang mengambang di ceruk kelopak bunga. Aku terbang merendah mendekati wajahnya, merasakan kesedihan yang coba disembunyikannya. Dia menatapku begitu lama, hingga aku bisa melihat bayanganku berkepakan pelan, memantul dalam bola matanya yang berkaca-kaca…
Terus-menerus dia diam memandangiku.

2.
HERAN nih. Dari tadi kupu-kupu itu terus terbang mengitariku. Kayaknya dia ngeliatin aku. Apa dia ngerti kalau aku lagi sedih? Mestinya aku nggak perlu nangis gini. Malu. Tapi nggak papalah. Nggak ada yang ngeliat. Cuman kupu-kupu itu. Ngapain pula mesti malu ama kupu-kupu?! Dia kan nggak ngerti kalau aku lagi sedih. Aku pingin sekolah. Pingin bermain kayak bocah-bocah itu. Gimana ya rasanya kalau aku bisa kayak mereka?
Pasti seneng. Nggak perlu ngamen. Nggak perlu kepanasan. Nggak perlu kerja di pabrik kalau malem, ngepakin kardus. Nggak pernah digebukin bapak. Kalau ajah ibu nggak mati, dan bapak nggak terus-terusan mabuk, pasti aku bisa sekolah. Pasti aku kayak bocah-bocah itu. Nyanyi. Kejar-kejaran. Nggak perlu takut ketabrak mobil kayak Joned. Hiii, kepalanya remuk, kelindes truk waktu lari rebutan ngamen di perempatan.
Aku senang tiduran di sini. Sembunyi-sembunyi. Nggak boleh keliatan, entar diusir petugas penjaga kebersihan taman. Orang kayak aku emang nggak boleh masuk taman ini. Bikin kotor --karena suka tiduran, kencing dan berak di bangku taman. Makanya, banyak tulisan dipasang di pagar taman: Pemulung dan Gelandangan Dilarang Masuk. Makanya aku ngumpet gini. Ngeliatin bocah-bocah itu, sekalian berteduh bentar.
Kalau ajah aku bebas main di sini. Wah, seneng banget dong! Aku bisa lari kenceng sepuasnya. Loncat-loncat ngejar kupu-kupu. Nggak, nggak! Aku nggak mau nangkepin kupu-kupu. Aku cuman mau main kejar-kejaran ama kupu-kupu. Soalnya aku paling seneng kupu-kupu. Aku sering mengkhayal aku jadi kupu-kupu. Pasti asyik banget. Punya sayap yang indah. Terbang ke sana ke mari. Sering aku bikin kupu-kupu mainan dari plastik sisa bungkus permen yang warna-warni. Aku gunting, terus aku pasang pakai lem. Kadang cuman aku ikat pakai benang aja bagian tengahnya. Persis sayap kupu beneran! Kalau pas ada angin kenceng, aku lemparin ke atas. Wuuss… Kupu-kupuan plastik itu terbang puter-puter kebawa angin. Kalau jumlahnya banyak, pasti tambah seru. Aku kayak ngeliat banyak banget kupu-kupu yang beterbangan…
Ih, aneh juga kupu-kupu ini! Dari tadi terus muterin aku. Apa dia ngerti ya, kalau aku suka kupu-kupu? Apa dia juga tau kalau aku sering ngebayangin jadi kupu-kupu? Apa kupu-kupu juga bisa nangis gini kayak aku? Bagus juga tuh kupu. Sayapnya hijau kekuning-kuningan. Ada garis item melengkung di tengahnya. Kalau saja aku punya sayap seindah kupu-kupu itu, pasti aku bisa terbang nyusul ibu di surga. Ibu pasti seneng ngelus-elus sayapku…
Aku terus ngeliatin kupu-kupu itu. Apa dia ngerti yang aku pikirin ya?

3.
BERKALI-KALI, kupu-kupu dan si bocah bertemu di taman itu.
Kupu-kupu itu pun akhirnya makin tahu kebiasaan si bocah, yang suka sembunyi di sebalik pohon. Sementara bocah itu pun jadi hapal dengan kupu-kupu yang suka mendekatinya dan terus-menerus terbang berkitaran di dekatnya. Kupu-kupu itu seperti menemukan serimbun bunga perdu liar di tengah bunga-bunga yang terawat dan ditata rapi, membuatnya tergoda untuk selalu mendekati. Kadang kupu-kupu itu hinggap di kaki atau lengan bocah itu. Bahkan sesekali pernah menclok di ujung hidungnya. Hingga bocah itu tertawa, seakan bisa merasa kalau kupu-kupu itu tengah mengajaknya bercanda.
Kupu-kupu dan bocah itu sering terlihat bermain bersama, dan kerap terlihat bercakap-cakap. Dan apabila tak ada penjaga taman (biasanya selepas tengah hari saat para penjaga taman itu selesai makan siang lalu dilanjutkan tiduran santai sembari menikmati rokok) maka kupu-kupu itu pun mengajak si bocah kejar-kejaran ke tengah taman.
"Ayolah, kejar aku! Jangan loyo begitu…," teriak kupu-kupu sembari terus terbang ke arah tengah taman.
Dan si bocah pun berlarian tertawa-tawa mengejar kupu-kupu itu.
"Kamu curang! Kamu curang! Bagaimana aku bisa mengejarmu kalau kamu terus terbang?! Kamu curang! Tungguuu kupu-kupuuu… Tungguuuu…"
Kupu-kupu itu terus terbang meliuk-liuk riang. Lalu kupu-kupu itu hinggap di setangkai pohon melati. Kupu-kupu itu menunggu si bocah yang berlarian mendekatinya dengan napas tersengal-sengal.
"Coba kalau aku juga punya sayap, pasti aku bisa mengejarmu…," bocah itu berkata sambil memandangi si kupu-kupu.
"Apakah kamu yakin, kalau kamu punya sayap kamu pasti bisa menangkapku?"
"Pasti! Pasti!"
Kupu-kupu itu tertawa --dan hanya bocah itu yang bisa mendengar tawanya.
"Benarkah kamu ingin punya sayap sepertiku?" tanya kupu-kupu.
"Iya dong! Pasti senang bisa terbang kayak kamu. Asal tau ajah, aku tuh sebenernya sering berkhayal bisa berubah jadi kupu-kupu…" Lalu bocah itu pun bercerita soal mimpi-mimpi dan keinginannya. Kupu-kupu itu mendengarkan dengan perasaan diluapi kesyahduan, karena tiba-tiba ia juga teringat pada impian yang selama ini diam-diam dipendamnya: betapa inginnya ia suatu hari menjelma menjadi manusia…
"Benarkah kamu sering membayangkan dirimu berubah jadi kupu-kupu? Apa kamu kira enak jadi kupu-kupu seperti aku?"
"Pasti enak jadi kupu-kupu seperti kamu…"
"Padahal aku sering membayangkan sebaliknya, betapa enaknya jadi bocah seperti kamu…"
"Enakan juga jadi kamu!" tegas bocah itu.
"Lebih enak jadi kamu!" jawab kupu-kupu.
"Lebih enak jadi kupu-kupu!"
"Lebih enak jadi bocah sepertimu!"
Setiap kali bertemu, setiap kali berbicara soal itu, kupu-kupu dan bocah itu semakin saling memahami apa yang selama ini mereka inginkan. Bocah itu ingin berubah jadi kupu-kupu. Dan kupu-kupu itu ingin menjelma jadi si bocah.
"Kenapa kita tak saling tukar saja kalau begitu?" kata kupu-kupu.
"Saling tukar gimana?"
"Aku jadi kamu, dan kamu jadi aku."
"Apa bisa? Gimana dong caranya?"
"Ya saling tukar saja gitu…"
"Kayak saling tukar baju?" Bocah itu ingat kalau ia sering saling tukar baju dengan temen-temen ngamennya, biar kelihatan punya banyak baju. "Iya, gitu?"
"Hmm, mungkin seperti itu..."
Keduanya saling pandang. Ah, pasti akan menyenangkan kalau semua itu terjadi. Aku akan berubah jadi kupu-kupu, batin bocah itu. Aku akan bahagia sekali kalau aku memang bisa menjelma manusia, desah kupu-kupu itu dengan berdebar hingga sayap-sayapnya bergetaran.
"Bagaimana?" kupu-kupu itu bertanya.
"Bagaimana apa?"
"Jadi nggak kita saling tukar? Sebentar juga nggak apa-apa. Yang penting kamu bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi kupu-kupu. Dan aku bisa merasakan bagaimana kalau jadi bocah seperti kamu. Setelah itu kita bisa kembali lagi jadi diri kita sendiri. Aku kembali jadi kupu-kupu lagi. Dan kamu kembali lagi jadi dirimu. Gimana?"
Si bocah merasa gembira dengan usul kupu-kupu itu. Gagasan yang menakjubkan, teriaknya girang. Lalu ia pun mencopot tubuhnya, agar kupu-kupu itu bisa merasuk ke dalam tubuhnya. Dan kupu-kupu itu pun segera melepaskan diri dari tubuhnya, kemudian menyuruh bocah itu masuk ke dalam tubuhnya. Begitulah, keduanya saling berganti tubuh. Bocah itu begitu senang mendapati dirinya telah berwujud kupu-kupu. Sedangkan kupu-kupu itu merasakan dirinya telah bermetamorfosa menjadi manusia.

4.
WAH enak juga ya jadi kupu-kupu! Bener-bener luar biasa. Lihat, sinar matahari jadi kelihatan berlapis-lapis warna-warni lembut tipis, persis kue lapis. Aku juga ngeliat cahaya itu jadi benang-benang keemasan, berjuntaian di sela-sela dedaunan. Aku jadi ingat benang gelasan yang direntangkan dari satu pohon ke pohon yang lain, setiap kali musim layangan. Aku lihat daun-daun jadi tambah menyala tertimpa cahaya. Semuanya jadi nampak lebih menyenangkan. Dengan riang aku melonjak-lonjak terbang. Terlalu girang sih aku. Jadi terbangku masih oleng dan nyaris nubruk ranting pohon.
"Hati-hati!"
Kudengar teriakan, dan kulihat kupu-kupu yang kini telah merasuk ke dalam tubuh bocahku. Dia kelihatan panik memandangi aku yang terbang jumpalitan. Aku bener-bener gembira. Tak pernah aku segembira ini. Emang nyenengin kok jadi kupu-kupu.
Aku terus terbang dengan riang…

5.
TUBUHKU perlahan-lahan berubah, dan mulai bergetaran keluar selongsong kepompong. Kemudian kudengar gema bermacam suara yang samar-samar, seakan-akan menghantarkan kepadaku cahaya pertama kehidupan yang berkilauan. Dan aku pun seketika terpesona melihat dunia untuk pertama kalinya, terpesona oleh keelokan tubuhku yang telah berubah. Itulah yang dulu aku rasakan, ketika aku berubah dari seekor ulat menjadi kupu-kupu. Dan kini aku merasakan keterpesonaan yang sama, ketika aku mendapati diriku sudah menjelma seorang bocah. Bahkan, saat ini, aku merasakan kebahagiaan yang lebih meruah dan bergairah.
Aku pernah mengalami bagaimana rasanya bermetamorfosa, karena itu aku bisa menahan diri untuk lebih menghayati setiap denyut setiap degup yang menandai perubahan tubuhku. Aku merasakan ada suara yang begitu riang mengalir dalam aliran darahku, seperti berasal dari jiwaku yang penuh tawa kanak-kanak. Aku ingin melonjak terbang karena begitu gembira. Tapi tubuhku terasa berat, dan aku ingat: aku kini tak lagi punya sayap.
Lalu kulihat bocah itu, yang telah berubah menjadi kupu-kupu, terbang begitu riang hingga nyaris menabrak ranting pepohonan. Aku berteriak mengingatkan, tetapi bocah itu nampaknya terlalu girang dalam tubuh barunya. Dia pasti begitu bahagia, sebagaimana kini aku berbahagia.
Kusaksikan bocah itu terbang riang mengitari taman, kemudian hilang dari pandangan. Aku pun segera melenggang sembari bersiul-siul. Tapi aku langsung kaget ketika seorang penjaga taman menghardikku, "Hai!! Keluar kamu bangsat cilik!" Kulihat penjaga taman itu mengacungkan pemukul kayu ke arahku. Segera aku kabur keluar taman.

6.
KETIKA bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu terbang melintasi etalase pertokoan, ia bisa melihat bayangan tubuhnya bagai mengambang di kaca, dan ia memuji penampilannya yang penuh warna. Sayapnya hijau kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya. Rasanya seperti pangeran kecil berjubah indah.
Tapi segera ia menjadi gugup di tengah lalu lalang orang-orang yang bergegas. Bising lalu lintas membuatnya cemas. Puluhan sepeda motor dan mobil-mobil mendengung-dengung mirip serangga-serangga raksasa yang siap melahapnya. Ia gemetar, tak berani menyeberang jalan. Dari kejauhan ia melihat truk yang menderu bagai burung pelatuk yang siap mematuk. Tiba-tiba ia menyadari, betapa mengerikannya kota ini buat seekor kupu-kupu sekecil dirinya. Sungguh, kota ini dibangun bukan untuk kupu-kupu sepertiku. Ia merasakan dirinya begitu rapuh di tengah kota yang semerawut dan bergemuruh. Gedung-gedung jadi terlihat lebih besar dan begitu menjulang dalam pandangannya. Tiang-tiang dan bentangan kawat-kawat tampak seperti perangkap yang siap menjerat dirinya. Semua itu benar-benar tak pernah terbayangkan olehnya. Ketika ia sampai dekat stasiun kereta, ia menyaksikan trem-trem yang berkelonengan bagaikan sekawanan ular naga dengan mahkota berlonceng terpasang di atas kepala mereka. Sekawanan ular naga yang menjadi kian mengerikan ketika malam tiba. Ia menyaksikan orang-orang yang keluar masuk perut naga itu, seperti mangsa yang dihisap dan dikeluarkan dari dalam perutnya…
Ia begitu gemetar menyaksikan itu semua, dan buru-buru ingin pergi. Ia ingin kembali ke taman itu. Ia ingin segera kembali menjadi seorang bocah.

7.
SEMENTARA itu, kupu-kupu yang telah berubah jadi bocah seharian berjalan-jalan keliling kota. Lari-lari kecil keluar masuk gang. Main sepak bola. Bergelantungan naik angkot. Kejar-kejaran di atas atap kereta yang melaju membelah kota. Rame-rame makan bakso. Ia begitu senang karena bisa melakukan banyak hal yang tak pernah ia lakukan ketika dirinya masih berupa seekor kupu-kupu.
Tengah malam ia pulang dengan perasaan riang, sembari membayangkan rumah yang bersih dan tenang. Hmm, akhirnya aku bisa merasakan bagaimana enaknya tidur dalam sebuah rumah. Selama ini ia hanya tidur di bawah naungan daun, kedinginan didera angin malam. Rasanya ia ingin segera menghirup semua ketenangan yang dibayangkannya.
Tapi begitu ia masuk rumah, langsung ada yang membentak, "Dari mana saja kamu!" Ia lihat seorang laki-laki yang menatap nanar ke arahnya. Ia langsung mengkerut. Ia tak pernah membayangkan akan menghadapi suasana seperti ini.
"Brengsek! Ditanya diam saja," laki-laki itu kembali membentak, mulutnya sengak bau tuak. Inikah ayah bocah itu? Ia ingat, bocah itu pernah bercerita tentang bapaknya yang seharian terus mabuk dan suka memukulinya. Ia merasakan ketakutan yang luar biasa ketika laki-laki itu mencekik lehernya. "Uang!" bentak laki-laki itu, "Mana uangnya?! Brengsek! Berapa kali aku bilang, kamu jangan pulang kalau nggak bawa uang!"
Ia meronta berusaha melepaskan diri, membuat laki-laki itu bertambah marah dan kalap. Ia rasakan tamparan keras berkali-kali. Ia rasakan perih di kulit kepalanya ketika rambutnya ditarik dan dijambak, lantas kepalanya dibentur-benturkan ke dinding. Ia merasakan cairan kental panas meleleh keluar dari liang telinganya. Kemudian perlahan-lahan ia merasakan ada kegelapan melilit tubuhnya, seakan-akan membungkus dirinya sebagai kepompong. Ia rasakan sakit yang bertubi-tubi menyodok ulu hati. Membuatnya muntah. Saat itulah bayangan bocah itu melintas, dan ia merasa begitu marah. Kenapa dia tak pernah cerita kalau bapaknya suka menghajar begini? Ia megap-megap gelagapan ketika kepalanya berulang-ulang dibenamkan ke bak mandi…

8.
UDAH hampir seharian aku nunggu. Kok dia belum muncul juga ya? Aku mulai bosen jadi kupu-kupu begini. Cuma terbang berputar-putar di taman. Habis, aku takut terbang jauh sampai ke jalan raya kayak kemarin sih! Takut ketubruk, dan sayap-sayapku remuk. Padahal sebelum jadi kupu-kupu, aku paling berani nerobos jalan. Aku juga bisa berenang, dan menyelam sampai dasar sungai ngerukin pasir. Sekarang, aku cuman terbang, terus-terusan terbang. Nyenengin sih bisa terbang, tapi lama-lama bosen juga. Apalagi kalau cuman berputar-putar di taman ini.
Cukup deh aku ngrasain jadi kupu-kupu gini. Banyak susahnya. Apa karna aku nggak terbiasa jadi kupu-kupu ya? Semaleman ajah aku kedinginan. Tidur di ranting yang terus goyang-goyang kena angin, kayak ada gempa bumi ajah. Aku ngeri ngeliat kelelawar nyambar-nyambar. Ngeri, karena aku ngerasa enggak bisa membela diri. Waktu jadi bocah aku berani berkelahi kalau ada yang ngancem atau ganggu aku. Sekarang, sebagai kupu-kupu, aku jadi ngerasa gampang kalahan. Nggak bisa jadi jagoan! Karna itu aku ingin cepet-cepet berhenti jadi kupu-kupu...
Nggak bisa deh kalau hanya nunggu-nunggu begini. Gelisah tau! Kan kemarin dia janji, hanya mau tukar sebentar. Apa dia keenakan jadi aku, ya? Jangan-jangan dia lagi rame-rame ngelem ama kawan-kawannku. Atau dia lagi didamprat ayah? Ah, moga-moga ajah tidak. Tapi ngapain sampai gini hari belum datang juga? Terus terang aku udah cemas. Aku mesti ketemu dia. Aku nggak mau terus-terusan jadi kupu-kupu gini.
Baiklah, daripada cemas gini, mendingan aku nyusul dia. Apa dia pulang ke rumahku ya? Aku mesti nyari dia, ah!

9.
IA mendapati kemurungan di sekitar rumahnya. Bocah yang telah menjadi kupu-kupu itu bisa merasakan indera kupu-kupunya menangkap kelebat firasat, sebagaimana indera serangga bila merasakan bahaya. Ia mencium bau kematian, bagaikan bau nektar yang menguar. Dan ia bergegas terbang masuk rumah. Ia tercekat mendapati tubuh bocah itu terbujur di ruang tamu. Memar lebam membiru, mengingatkannya pada rona bunga bakung layu. Apa yang terjadi? Alangkah menyedihkan melihat jazad sendiri. Segalanya terasa mengendap pelan, namun menenggelamkan. Ia terbang berkelebat mendekati para tetangganya yang duduk-duduk bercakap-cakap pelan. Kemudian ia mencoba mengajak para tetangga itu bercakap-cakap dengan isyarat kepakan sayapnya. Tapi tak ada yang memahami isyaratnya. Tentu saja mereka tak tahu bagaimana caranya berbicara pada seekor kupu-kupu sepertiku! Dan ia merasa kian ditangkup sunyi, terbang berputar-putar di atas jazadnya. Ia merasakan duka itu, melepuh dalam mata yang terkatup. Sepasang kelopak mata yang membiru itu terlihat seperti sepasang sayap kupu-kupu yang melepuh rapuh. Ia terbang merendah, dan mencium kening jazad itu. Saat itulah ia mendengar percakapan beberapa pelayat.
"Lihat kupu-kupu itu…"
"Aneh, baru kali ini aku melihat kupu-kupu hinggap di kening orang mati."
"Kupu-kupu itu seperti menciumnya…"
"Mungkin kupu-kupu itu tengah bercakap-cakap dengan roh yang barusan keluar dari tubuh bocah itu."
Bocah yang telah berubah menjadi kupu-kupu itu kemudian terbang keluar ruangan, dan orang-orang yang melihatnya seperti menyaksikan roh yang tengah terbang keluar rumah. Tapi ke mana roh kupu-kupu itu? Ia tak tahu ke mana roh kupu-kupu itu pergi. Apa sudah langsung terbang membumbung ke langit sana? Apakah kalau kupu-kupu mati juga masuk surga?
Di surga, aku harap roh kupu-kupu itu bertemu ibuku. Aku ingin dia bercerita pada ibuku, bagaimana kini aku telah menjadi seekor kupu-kupu yang terus-menerus dirundung rindu. Semua kejadian berlangsung bagaikan bayang-bayang yang dengan gampang memudar namun terus-menerus membuatku gemetar.
Bunga-bunga mekar dan layu, sementara aku masih saja selalu merasa perih setiap mengingat kematian kupu-kupu yang menjelma jadi diriku itu. Kuharap bapak membusuk di penjara. Aku terbang, terus terbang, berusaha meneduhkan kerisauanku. Aku ingin terbang menyelusup ke mimpi setiap orang, agar mereka bisa mengerti kerinduan seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu. Dapatkah engkau merasakan kesepian seorang bocah yang berubah menjadi kupu-kupu seperti aku?
Aku terbang mencari taman yang dapat menentramkanku. Aku terbang mengitari taman-taman rumah yang menarik perhatianku. Aku suka bertandang ke rumah-rumah yang penuh keriangan kanak-kanak. Keriangan seperti itu selalu mengingatkan pada seluruh kisah dan mimpi-mimpiku. Aku suka melihat anak-anak itu tertawa. Aku suka terbang berkitaran di dekat jendela kamar tidur mereka.
Seperti pagi ini. Dari jendela yang hordennya separuh terbuka, aku menyaksikan bocah perempuan yang masih tertidur pulas. Kamar itu terang, dan cahaya pagi membuatnya terasa lebih tenang. Sudah sejak beberapa hari lalu aku memperhatikan bocah perempuan itu. Dari luar jendela, dia terlihat seperti peri cilik cantik yang terkurung dalam kotak kaca. Aku terbang menabrak-nabrak kaca jendelanya. Aku ingin masuk ke dalam kamar bocah perempuan itu. Betapa aku ingin menyelusup ke dalam mimpinya…

10.
HANGAT pagi mulai terasa menguap di horden jendela yang setengah terbuka, tetapi kamar berpendingin udara itu tetap terasa sejuk. Bocah perempuan itu masih meringkuk dalam selimut. Sebentar ia menggeliat, dan teringat kalau hari ini Mamanya akan mengajak jalan-jalan. Karena itu, meski masih malas, bocah perempuan itu segera bangun, dan ia terpesona menatap cahaya bening matahari di jendela. Seperti sepotong roti panggang yang masih panas diolesi mentega, cahaya matahari itu bagaikan meleleh di atas karpet kamarnya. Cuping hidung bocah itu kembang-kempis, seakan ingin menghirup aroma pagi yang harum dan hangat.
Di luar jendela, dilihatnya seekor kupu-kupu tengah terbang menabrak-nabrak kaca jendela, seperti ingin masuk ke dalam kamarnya. Segera ia mendekati jendela. Ia pandangi kupu-kupu itu. Sayapnya, hijau kekuning-kuningan, bergaris hitam melengkung di tengah-tengahnya. Seperti kupu-kupu dalam mimpiku semalam, gumam bocah perempuan itu. Lalu ia ingat mimpinya semalam: ia bertemu seorang bocah yang telah menjelma kupu-kupu. Terus ia pandangi kupu-kupu itu. Kayaknya kupu-kupu itu yang semalam muncul dalam mimpiku? Jangan-jangan itu memang kupu-kupu yang semalam meloncat keluar mimpiku? Bocah perempuan itu ingin membuka jendela. Tapi jendela itu penuh teralis besi. Lagi pula daun jendelanya dikunci mati, karena orang tuanya takut pencuri. Bocah perempuan itu hanya bisa memandangi kupu-kupu yang terus terbang menabrak-nabrak kaca jendela…
Pintu kamar terbuka, muncul Mamanya yang langsung terkejut mendapati anaknya tengah berdiri gelisah memandangi jendela. "Kenapa?" tanya Mama sambil memeluk putrinya dari belakang, berharap pelukannya akan membuat putrinya tenang.
"Kasihan kupu-kupu itu, Mama…"
"Kenapa kupu-kupu itu?"
"Aku ingin kenal kupu-kupu itu."
"Kamu ingin tahu kupu-kupu? Kamu suka kupu-kupu?"
Bocah perempuan itu mengangguk.
"Kalau gitu cepet mandi, ya. Biar kita bisa cepet jalan-jalan. Nanti habis Mama ke salon kita mampir ke toko buku, beli buku tentang kupu-kupu. Kamu boleh pilih sebanyak-banyaknya… Atau kamu pingin ke McDonald dulu?"
Bocah perempuan itu menatap ibunya. Ia ingin mengatakan sesuatu. Ingin bercerita soal mimpinya semalam. Ingin mengatakan kenapa ia suka pada kupu-kupu di luar itu. Ia ingin menceritakan apa yang dirasakannya, tapi tak tahu bagaimana cara mengatakan pada Mamanya.
Setelah lama terdiam, baru bocah itu berkata, "Gimana ya, Ma… kalau suatu hari nanti aku menjadi kupu-kupu?"
Mamanya hanya tersenyum. Sementara kupu-kupu di luar jendela itu terus-menerus terbang menabrak-nabrak jendela, seperti bersikeras hendak masuk dan ingin menjawab pertanyaan bocah perempuan itu.

11.
PERNAHKAH suatu pagi engkau menyaksikan seekor kupu-kupu bertandang ke rumahmu? Saat itu engkau barangkali tengah sarapan pagi. Engkau tersenyum ke arah anakmu yang berwajah cerah, seakan-akan masih ada sisa mimpi indah yang membuat pipi anakmu merona merah. Engkau segera bangkit ketika mendengar anakmu berteriak renyah, "Papa, lihat ada kupu-kupu!"
Dan engkau melihat kupu-kupu bersayap hijau kekuning-kuningan dengan garis hitam melengkung di bagian tengahnya sedang terbang berputar-putar gelisah di depan pintu rumahmu. Kupu-kupu itu terlihat ragu-ragu ingin masuk ke rumahmu. Apakah yang melintas dalam benakmu, ketika engkau melihat kupu-kupu itu?
Kuharap, pada saat-saat seperti itu, engkau terkenang akan aku: seorang bocah yang telah berubah menjadi seekor kupu-kupu…

Kamar Belakang

Cerpen Teguh Winarsho AS

SAMAR dan kabur pandangan Nastiti, saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Mencoba berdiri lebih tegak, Nastiti benar-benar tak kuat, buru-buru merapat dinding, merambat persis seekor cicak. Nastiti menghampiri kamar depan yang paling dekat, membuka pintu dengan sisa tenaga yang ada, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno tak menduga sama sekali jika Nastiti, istrinya, pulang lebih cepat dari biasanya. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara Nastiti. Wiguno jadi penasaran tak yakin jika istrinya sudah pulang. Anak-anak muda Karang Taruna suka nyelonong masuk rumah memberi undangan. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
Wiguno urung melangkah, menatap Sawitri yang sibuk mengenakan kutang. Ada kecewa di mata Wiguno. Ada hasrat yang belum lunas. "Kita belum selesai…" Wiguno menelan ludah.

"Edan, kamu!"
"Tenang. Paling cuma anak-anak ngasih undangan. Mereka sudah pergi…" Meski belum terlalu yakin dengan dugaannya, Wiguno berusaha meyakinkan Sawitri. Tatap matanya berubah serius. Sawitri menarik napas dalam-dalam tak begitu yakin dengan ucapan Wiguno. Sawitri masih merasakan jantungnya berdebar kencang. Tapi setelah berpikir beberapa saat, dengan isyarat mata akhirnya Sawitri menyuruh Wiguno keluar. Entah, giliran Wiguno yang tiba-tiba ragu.

Lama Wiguno berdiri di depan pintu kamarnya, merapikan rambut dan mencoba bersikap wajar, sebelum kakinya bersijingkat menghampiri kamar depan. Pelan dan hati-hati langkah Wiguno takut menimbulkan bunyi. Takut Nastiti benar-benar sudah pulang. Tapi rumah itu sangat sepi hingga Wiguno bisa mendengar aliran napasnya sendiri. Wiguno terus melangkah. Kali ini lebih pelan.

Pintu kamar depan tidak ditutup rapat. Wiguno melongok dan jantungnya hampir lepas. Di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wajahnya letih, sayu. Tas kerjanya jatuh di lantai hingga benda-benda di dalamnya berserak. Wiguno segera tahu, istrinya sedang tak enak badan sehingga pulang lebih cepat. Wiguno juga hapal, istrinya belum lama tidur dan bangunnya pasti lama. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu banyak. Ada hasrat yang belum tuntas.

Sawitri kaget tiba-tiba Wiguno menyergap dari belakang. Dengus napasnya liar. Matanya menyala. Sawitri heran, tak biasanya Wiguno bersikap kasar dan buru-buru. Tapi Sawitri tak bisa berkelit. Tak boleh menjerit. Berkali-kali Wiguno memberi isyarat agar jangan bersuara terlalu keras. Wiguno membopong tubuh Sawitri, dihempas ke atas ranjang. Melucuti pakaiannya seperti kesetanan. Augh!
***
NASTITI bangun mendengar suara sepeda motor masuk halaman. Bangkit dari ranjang, Nastiti merasakan badannya jauh lebih enak. Ia segera mengintip gordyn jendela melihat siapa yang datang. Tampak di halaman, Palastra, teman sesama guru di SMP sedang memarkir sepeda motor. Nastiti cepat-cepat menyisir rambutnya yang kusut. Lalu, setengah berlari menghampiri pintu depan, persis bersamaan Palastra mengetuk pintu.

"O, Pak Palastra. Mari, mari, masuk." Nastiti tersenyum ramah, membuka pintu mempersilahkan Palastra masuk.
Palastra yang berdiri di depan pintu sedikit grogi melihat senyum ramah Nastiti. Ia tak menduga Nastiti sendiri yang akan membuka pintu, menyambutnya. Tapi memang, diam-diam sudah lama ia memendam kagum pada Nastiti. Mungkin sejak pertama kali bertemu, saat Nastiti mulai mengajar sebagai guru honorer. Selalu ada perasaan aneh menyusup dalam jantungnya. Apalagi ketika teman-teman sesama guru suka meledek bahwa Nastiti sangat mirip dengan mendiang istrinya yang sudah meninggal empat tahun lalu.

"Ehm….Tidak usah. Di sini saja. Saya hanya mengantar hasil ulangan anak-anak…" Palastra benar-benar belum bisa menguasai groginya, menyerahkan setumpuk kertas hasil ulangan pada Nastiti. Tangannya gemetar, berkeringat.

"Aduh, saya jadi merepotkan," ucap Nastiti merasa bersalah.
"Tidak apa-apa. Tadi sebenarnya mau saya bawa pulang ke rumah. Saya takut Bu Nastiti belum sembuh. Tapi saya lihat Bu Nastiti sudah baikan. Mudah-mudahan besok sudah bisa mengajar." Berkata demikian, Palastra merogoh saku celana, agak buru-buru, mengeluarkan kunci sepeda motor. "Sekarang saya permisi dulu. Sudah sore…."

Nastiti hanya mengangguk-angguk, tak sempat menjawab. Laki-laki itu keburu memutar badannya berjalan menghampiri sepeda motor. Nastiti terus menatap Palastra hingga sepeda motor yang dikendarainya bergerak meninggalkan halaman rumah. Nastiti bukannya tidak tahu, tadi Palastra grogi berhadapan dengan dirinya. Ah, bukan hanya tadi saja, tapi selalu dalam setiap pertemuan.

Nastiti sering merasa kasihan pada Palastra yang ramah dan baik hati. Berkali-kali Palastra membantu dirinya. Apalagi setelah mendengar cerita dari para guru tentang masa lalu Palastra. Nastiti jadi semakin bingung, tak tahu bagaimana harus bersikap di depan guru matematika kelas tiga yang masih cukup muda dan tampan itu. Nastiti sadar, sangat sadar, sesekali dirinya juga grogi dan salah tingkah setiap kali Palastra menatapnya dari kejauhan. Tatapan Palastra begitu dalam.
***
SAWITRI buru-buru membalikkan badannya menghadap tembok, pura-pura tidur, ketika mendengar langkah kaki Muntar, suaminya, berjalan menuju kamar. Sejak nonton tv sore tadi, Sawitri sudah bisa membaca gelagat laki-laki itu. Selalu ada maunya setiap kali beli makanan banyak. Apalagi malam Minggu. Muntar bisa begadang sampai pagi, melakukannya berkali-kali.

Sampai di kamar, Muntar kecewa melihat Sawitri sudah tidur. Muntar ikut rebah di sebelah Sawitri, tapi matanya hanya merem melek tak kunjung bisa tidur. Berkali-kali Muntar hendak membangunkan Sawitri, tapi selalu ragu. Dalam hati Muntar heran, tak biasanya Sawitri tidur sore. Apalagi malam Minggu. Muntar terus menatap Sawitri yang tidur di sebelahnya hingga lama-lama timbul keberanian untuk membangunkan Sawitri.

Tapi tidur Sawitri tampak sangat lelap. Sekujur tubuhnya ditutup selimut. Berkali-kali Muntar berusaha membangunkan, tapi selalu gagal. Perempuan itu tak bergerak sedikit pun, kaku seperti kayu. Muntar menelan ludah, kecewa berat. Sudah lama ia tak berhubungan badan.
***
DUDUK di bangku pojok kantor guru, Nastiti terlihat tekun memeriksa hasil ulangan matematika murid kelas dua. Nastiti malas membawa pulang kertas-kertas hasil ulangan, khawatir justru tak bisa selesai. Para guru dan murid sudah lama pulang, membuat sekolah itu tampak sepi. Mungkin hanya tinggal penjaga sekolah dan penjaga kantin di belakang.

O, ternyata tidak! Palastra tergopoh-gopoh masuk kantor hendak mengambil beberapa buku yang tertinggal. Palastra kaget mendapati Nastiti masih di kantor. Nastiti pun tak kalah terkejutnya, saat matanya beradu dengan mata Palastra. "Bbelum pulang?" tanya Palastra gugup, masih belum hilang terkejutnya.

"Belum. Aku malas mengerjakan di rumah."
"Mau kuantar sekalian?" Palastra memberanikan diri mendekat.
Entah, Nastiti mendadak gugup. Mungkin sejak tadi, saat beradu pandang. Tatap mata Palastra begitu dalam. Seperti menyimpan magnet, menggetarkan. Nastiti semakin salah tingkah melihat Palastra mendekati dirinya. Pikirannya sudah tak konsentrasi lagi dengan kertas-kertas hasil ulangan yang bertumpuk di atas meja. Kini Palastra sudah berdiri di depannya. Anggun. Berwibawa.

"Mau kubantu?"
Nastiti menggeleng. "Terima kasih. Sedikit lagi selesai…"
Tapi Palastra sudah duduk di kursi samping Nastiti. Nastiti merasakan jantungnya berdebar lebih kencang. Debar yang sama dirasakan oleh Palastra. Apalagi saat angin dari jendela meniup rambut Nastiti. Beberapa helai rambutnya melayang menerpa wajah Palastra. Harum dan lembut. Palastra tiba-tiba tak bisa menguasai diri. Ada sesuatu yang tiba-tiba menguap dari ingatannya. Ingatan seorang laki-laki yang empat tahun bertahan hidup seorang diri. Dan, Nastiti adalah perempuan cantik yang selalu mengingatkannya pada mendiang istrinya.

Palastra benar-benar tak bisa menahan diri. Diraihnya tangan Nastiti yang lembut. Sudah lama ia tak merasakan kelembutan tangan seorang perempuan. Seperti tak sadar, Nastiti hanya diam. Tubuhnya bergetar gemetar. Palastra kemudian meraih wajah Nastiti, dihadapkan ke wajahnya. Ada rongga sunyi di mata Palastra. Ada lorong kelam di sana. Nastiti bisa melihat kesunyian dan kekelaman itu kini mulai menjalar tubuhnya, membuat dirinya hanyut, terlena, menikmati cumbu Palastra.

Tapi sejurus kemudian tiba-tiba Nastiti berontak melepaskan diri. Sesaat Palastra tersentak, kaget. Tapi Palastra segera sadar, telah membuat kekeliruan. Palastra merasa malu. Wajahnya berubah pucat penuh rasa bersalah dan penyesalan. Nastiti merasa lebih malu lagi, segera menyambar tas di atas meja lalu lari keluar.
"Nastiti, demi Tuhan, aku khilaf. Maafkan aku! Maafkan aku!" Palastra berteriak, tapi Nastiti terus lari. Pulang.
***
SAMAR dan kabur pandangan Nastiti saat kedua kakinya menginjak lantai ruang tamu. Lututnya kian gemetar menjaga keseimbangan tubuh yang mulai goyah. Nastiti merasakan kepalanya pening, berdenyut-denyut. Peristiwa di sekolah barusan membuat dirinya sangat terpukul. Ia merasa malu pada dirinya sendiri. Dengan sisa tenaga yang ada, Nastiti menghampiri kamar depan, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk. Perlahan-lahan kelopak matanya mengatup.

Di kamar belakang, masih setengah telanjang, Sawitri dan Wiguno pucat. Sekian menit mereka menahan napas, tak tahu harus berbuat apa. Wiguno menyesal lupa tak mengunci pintu depan. Tapi tiba-tiba Wiguno heran, tak mendengar lagi suara orang yang baru masuk rumahnya. Wiguno jadi penasaran, tak yakin jika istrinya sudah pulang. Wiguno hendak keluar memastikan siapa yang datang, tapi tiba-tiba Sawitri menahan lengannya. Kuat.

"Sstt! Jangan cari perkara!" Suara Sawitri pelan, tapi tajam.
"Kita belum selesai…." Wiguno menelan ludah.

"Edan, kamu! Mau berapa kali lagi?!"
"Sehari tiga kali, seperti minum obat…" Wiguno melucu.

Sawitri tersenyum. "Ya, sudah, sana lihat!"
Wiguno segera bersijingkat menghampiri kamar depan. Untung pintunya tak ditutup rapat. Ia cukup melongokkan kepalanya dan segera tahu di atas ranjang istrinya tidur lelap. Wiguno menduga istrinya sedang tak enak badan. Wiguno segera beringsut ke kamar belakang. Ia tak punya waktu banyak. Ini untuk permainan terakhir kalinya. Siang ini. Yang ke empat! ***

Bisikan Aneh...

Cerpen Yanusa Nugroho

Jangan lupakan aku. Kabari aku jika kau sudah sampai di sana, begitu katamu ketika melepaskan kepergianku. Namun, pada saat yang bersamaan, perasaan ini berkata lain. Ada sesuatu yang tiba-tiba melintas, dan dengan caranya yang aneh pula dia mengatakan bahwa yang akan terjadi adalah sebaliknya.
Oleh karenanya, mungkin jika kau memperhatikan tatapan mataku, atau mimik yang tergambar di raut wajahku, kau akan tahu bahwa aku meragukan setiap kata yang kau ucapkan kepadaku.
Tetapi, itulah. Aku sendiri tak tahu lagi kepada siapa aku menaruh kepercayaan. Dusta itu sudah terlalu sering menghujaniku. Kebohongan rasanya seperti genting pada setiap rumah, atau jendela dengan kaca-kaca timah menorehkan warna-warninya di kehidupanku. Sehingga, jangan heran jika pada akhirnya aku pun mendiamkan saja apa yang terjadi pada diriku. Toh, akhirnya kau berbohong kepadaku.
"Jangan lupa, ya.." Itu ucapanmu sambil melemparkan senyum dari bibir yang biasa kau berikan padaku untuk kulumatkan di malam-malam kita tempo hari.
Ah, sandiwara apa lagi yang tengah kau mainkan, manisku? Bahkan ketika kukatakan bahwa kepergianku ini untuk sesuatu yang penting bagi kita, dan kau menunjukkan keberatan karena lamanya kita berpisah, aku sudah tahu bahwa itu hanya pura-pura saja. Kepura-puraan seutas tali layang-layang, yang kau tarik seolah menurunkan, yang sesungguhnya membuat terbangnya kian tinggi. Aku tahu, sayangku, aku tahu.
Maka, ketika pesawat ini mendarat dan aku melanjutkan perjalanan dengan landrover, mendaki dan menjelajahi tanah tak ramah, aku pun kian tergelak-gelak oleh sandiwara yang kau mainkan. Tidak, kau tidak bermain, tetapi menyutradari lakonku. Aha, kau menjadi sutradaranya!
Aku tahu kau tengah menimbang-nimbang dan menggores-goreskan naskah yang kau edit sendiri, dan mengarahkan langkahku untuk menemui kegagalan itu. Kau pikir aku tak tahu apa yang kucari? Kau pikir aku tak tahu siapa yang akan kutemui? Meskipun ketika kukatakan bahwa aku sendiri tak yakin benar akan apa yang akan kucari ini, dan kau mencegahku --ah, betapa manisnya adegan itu-- aku tahu bahwa sebetulnya kau tengah berdoa agar aku cepat-cepat pergi dan menjumpai bibir jurang kehampaan yang menganga.
"Sudah lama kenal sama Mahmud?" Tiba-tiba orang yang menjemputku bicara. Aku tak percaya manusia besi ini bisa bicara. Sejak kedatangannya di bandara, dan setelah hampir tiga jam dia bersamaku, baru ini yang diucapkannya.
Kau tahu, sayangku, caranya bicara menunjukkan bahwa apa yang diucapkannya hanyalah sebuah basa-basi, pemerah bibir. Dia tak punya kepentingan apa-apa denganku, karenanya dia bertanya tentang sesuatu yang tak berkaitan dengan urusannya. Bayangkan, jika saja kujawab "sudah", lantas dia mau bilang apa? Atau misalnya aku berdusta dengan mengatakan "belum", kira-kira apa yang akan dijadikannya pertanyaan berikutnya? Tak ada. Persis seperti caramu menghadapiku. Semuanya basa-basi.
"Sudah."
"O...berapa lama?"
Nah, apa kataku. Dia hanya mencoba berbasa-basi lagi.
"Sepuluh tahun...," jawabku asal saja.
"Teman kuliah?"
"Bukan."
"Teman kerja?"
"Bukan."
Nah, betul, kan, kataku, dia tak bisa menyambung dengan kata-kata lagi. Itu semua karena dia hanya berbasa-basi.
"Kita akan sampai di ibukota kecamatan kira-kira dua jam lagi. Dan karena di dalam dua jam itu saya khawatir kita tidak menemukan kedai atau apa pun, sebaiknya kita mampir dulu di pasar ini. Sekalian kita cari pompa bensin."
"O...bagaimana mungkin dalam dua jam perjalanan kita tidak bisa menemukan warung, atau kedai makanan?"
"...?"
Dia hanya menatapku dengan bingung. Otaknya tak cukup cerdas mencari sebuah kalimat yang bisa membuatku paham. Lalu, sambil menengok ke kanan dan ke kiri, mencari warung, dia kembali tenggelam dalam kebisuannya.

***

Selama menunggu makanan di kedai, aku membayangkan serbuk racun ditaburkan di makanan yang akan kumakan. Ah, jangan kau pura-pura, sayangku, dia adalah orang suruhanmu. Jangan menyangkal, aku tahu. Engkau ingin tahu bagaimana aku bisa tahu? Haha...untuk apa? Membuktikan bahwa kau adalah seorang juru catat yang andal? Dia dengan mudahnya menyuruh si pemilik warung untuk menaburkan sejenis sianida atau racun apalah namanya, ke dalam makananku.
"Saya belum lapar..."
Dan lihatlah wajahnya yang tolol itu.
"Saya sudah pesan 2 piring dan Anda setuju kita makan dulu. Kenapa tiba-tiba merasa belum lapar?"
"Maaf, ini perut saya. Sayalah yang paling tahu kondisinya."
"Hmm...tapi kita harus bayar 2 piring."
"Tak masalah. Saya akan bayar. Kalau mau, silakan makan punya saya..."
Piring dan lauk dihidangkan. Ikan bakar, sambal dan lalapan.
Dia makan dengan lahapnya. Aku hanya mengamatinya saja. Dia terlalu lahap, dan betul-betul menikmati nasi hangat dan ikan bakar itu.
"Jadi, nggak makan?"
Aku menggeleng.
"Sayang kalau dibuang. Saya makan, ya?" Dan dia langsung mengambil jatahku.
Dan kembali dia melahap habis nasiku, laukku dan lalapanku. Dia minum dengan tegukan besar dan mengeluarkan sendawa besar. Sungguh edan!
Kuamati perubahan di wajahnya. Sebentar lagi, ya, sebentar lagi dia akan...

***

Aneh. Si besi ini tak mati-mati juga, padahal, menurut dugaanku, piringku pasti beracun dan...mungkin aku salah. Landrover menderum lagi membelah malam.
Dia menyalakan rokok dan menikmati laju kendaraan dengan seenak perutnya. Sementara itu aku terayun-ayun dan merasakan kantuk mengganduli mataku. Tidak, tak mungkin aku tertidur, sementara kaki-tanganmu siap menikamku. Ini juga bagian sandiwaramu, bukan?
Tiba-tiba mobil berdecit, membelok dan berhenti. "Maaf, perut saya..." dia lari ke semak-semak sambil membawa sebotol air. "Kebanyakan sambal," teriaknya sebelum menghilang di semak-semak.
Bukan kebanyakan sambal, tapi sianidamu mulai bekerja. Bagaimana mungkin dia yang menyuruh menaburkan bubuk racun itu kemudian memakannya? Apakah dia ingin meyakinkan aku bahwa... ah, sandiwara terlucu yang pernah kusaksikan.
Mesin menyala, lampunya mengarah ke semak-semak. Sialan, aku disuruh menyaksikan dan menunggui pembunuhku buang air! Kampret! Aku sungguh tak mengerti jalan pikiranmu. Kita sebentar lagi akan menikah, dan dalam pernikahan itu, kujamin bahwa diriku akan bisa membuatmu menjadi wanita terhormat, ibu dari anak-anakku. Yang aku tak mengerti, mengapa kau sudah... ah, itu yang aku tak paham. Apa sebetulnya motivasimu?

***

Dan Mahmud itu, nama yang kau sebut-sebut sebagai kawan yang mungkin bisa membantuku itu, bukankah dia kekasih gelapmu? Jangan kau sangkal dan membalikkan kenyataan itu sebagai bentuk kecemburuanku padamu. Jika bukan kekasih gelapmu, mana mungkin kau secara cepat memberikan nama itu kepadaku?
Apalagi, rumahnya jauh dari rumah kita. Bayangkan, aku harus berpesawat, lalu naik landrover ini berjam-jam, baru bisa menemukannya. Aku curiga, jangan-jangan kau telah bersekongkol dengan Mahmud. Dan manusia besi yang sekarang sedang berjuang keras di balik semak-semak itu, tentunya adalah kaki-tangan Mahmud juga.
Tetapi, mengapa?
Aku sendiri meragukan apakah yang kucari ini akan kutemukan atau tidak. Tetapi, ketika kukatakan kepadamu, tempo hari itu, aku jadi curiga. Jangan-jangan, sikapmu, ucapanmu, bahkan tangisanmu, sebetulnya adalah taktikmu saja agar aku meragukan kepergianku. Itu sebabnya, aku justru ingin pergi dan mencarinya. Seandainya saja, engkau tidak keberatan dan mempersilakan aku pergi, mungkin aku malah tak pergi.
Tetapi karena kau merengek agar tak kutinggalkan, entahlah, keinginanku untuk pergi rasanya kian menggebu.
Sungguh aku tidak mengerti sikapmu.
"Wah, lega rasanya, bisa..." Dan dia mengakhiri kalimatnya dengan ekspresi puas, diulas senyum lebar.
Sungguh tak sopan manusia satu ini. Selesai buang hajat malah pamer!

***

Perjalanan berlanjut. Hanya bunyi mesin yang kudengar. Jalan berkelok-kelok, mendaki, menurun, bergelombang. Belum mati juga, dia.
"Merokok?"
"Terima kasih. Kata orang merokok bisa memendekkan umur," jawabku berusaha ketus. Maksudku agar dia mengerti bahwa sebetulnya aku keberatan kalau dia merokok.
Ajaib dia malah tertawa terbahak-bahak.
"Hebat benar, Tuhan bisa dikalahkan oleh rokok..." dan gelak tawanya kian nyaring di malam sunyi ini.
Sinting, dia membawa-bawa nama Tuhan demi sebatang rokok sialan itu.
"Anak saya lima. Yang besar sudah SMA, Mas?"
Ampun, siapa yang mau tahu keluarganya? Mau punya anak selusin pun, aku tak peduli. "Belum kawin...," jawabku lesu.
"Lho, saya pikir Mas ini suaminya Mbak Desy?"
Nah, nah...bagaimana mungkin dia tahu namamu? Bukankah kau pun tak mengenalnya? Bagaimana mungkin dia tahu bahwa namamu Desy dan aku adalah pasanganmu? Jika bukan ada apa-apanya, tentu tak mungkin dia tahu banyak tentang kita.
"Pak Mahmud bilang bahwa Mas ini suaminya Mbak Desy. Jadi, bukan? Maksud saya, belum menikah?" Dia pun terbahak lagi.
Lihatlah, Des, lihat... ah, seandainya saja kau bisa menyaksikan bagaimana laki-laki besi ini tertawa geli. Dia mengejekku. Dia menertawakanku. Bukankah ini sebetulnya maksudmu "melemparkan"-ku kemari? Agar aku jadi bahan tertawaan orang lain? Oh, Desy, Desy... aku semakin tak mengerti mengapa kau menyukai cara-cara aneh untuk menghina calon suamimu sendiri?
"Mumpung masih muda, kawinlah Mas. Maaf usia Mas berapa?"
Hmmm! Mau apa dia tanya-tanya umurku? "Empat puluh."
Dia diam. Kurasa dia tak percaya atau angka empat puluh merupakan angka keramat baginya. Dan, Desy, inikah caramu agar aku dicerca oleh orang lain? Bukankah sudah menjadi keputusanmu bahwa selisih usia kita yang nyaris dua puluh tahun ini bukan soal untuk berumah tangga? Lalu, mengapa kau selalu menggiringku ke dalam bubu jebakan, agar setiap orang mempertanyakan masalah usia kita?
Apa rencanamu sebetulnya di balik ini semua?

***

Jam 11 malam landrover berhenti di depan sebuah rumah panggung. Sunyi dan gelap mengepung. Untunglah bulan masih mau membagi sinarnya. Bulan tanggal berapa sekarang, mengapa belum bulat penuh?
Mungkin, karena mendengar derum mobil, si tuan rumah membuka pintu. Seorang laki-laki besar, bercelana jins berkaos hitam, tegak di ambang pintu. Cahaya menyeruak menginginkan kebebasan.
"Belum tidur, rupanya, Pak Mahmud..."
"Itu Mahmud?" namun aku segera sadar bahwa tadi aku mengaku mengenalnya selama 10 tahun. Dia tentunya --seharusnya curiga dengan ucapanku. Tapi, ah, si bodoh ini hanya diam saja. Mungkin dia mengantuk atau tak peduli.
Dia turun tangga menyambutku. Hangat. Genggaman tangannya kuat sekali dan sebaris gigi besarnya menyeringai. Bahagia betul dia menemukan korbannya!
"Kenapa lama sekali, Din?" ucapnya di sela-sela senyumnya.
"Maaf Pak, tadi..." Si Din menepuk-nepuk perutnya sendiri sambil meringis. Mahmud tergelak.

***

Paginya, aku terbangun dengan badan dirajam lelah. Maklumlah, semalam aku tak makan dan langsung tertidur, begitu Mahmud membukakan kamar untukku. Kubuka jendela kayu dan... Tuhanku, engkau pasti tersenyum ketika menciptakan alam ini. Gunung-gunung berlapis-lapis, berkelambu kabut yang membuatnya kian menipis. Bebukitan menggunduk di sana-sini, menyembul di antara padang rumput, pepohonan dan bebatuan besar. Dan di leher-leher bukit itu, kabut tipis melayang perlahan, layaknya kain panjang seorang jelita putri di negeri dongeng. Kuda-kuda merumput tenang, bersama sapi dan kambing. Di manakah aku saat ini? Belum pernah kusaksikan keramahan yang menyejukkan jiwa, seperti di tempat ini.
"Mari sarapan dulu, istri saya sudah menyiapkan." Tiba-tiba suara yang kukenali membuatku tersadar dan melihat arloji. Jam sembilan!
"Mmm... ini waktu Indonesia Bagian Tengah. Jamnya pasti belum disesuaikan."
"Oh...," berarti aku harus mengubahnya menjadi jam sepuluh! Astaga, aku terbangun jam sepuluh! Berarti lelap sekali tidurku.
Sambil makan, Mahmud berkata tentang sesuatu yang akan kucari itu. Memang, dia bilang bahwa kayu itu tumbuh hanya di daerah ini, namun tidak semua orang bisa mencarinya. "Adanya di hutan dan hanya orang tertentu yang bisa menemukannya."
Aku berhenti menyuap. Gagal sudah harapanku.
"Untuk apa, sih, Mbak Desy mencari kayu itu?"
"Mmm... ini memang permintaan paling aneh.. Katanya untuk persyaratan mas kawin..."
Tanpa kuduga, Mahmud tertawa. Suaranya lantang memenuhi ruang-ruang di rumahnya. Sesaat dia tersedak. Minum. Lalu melanjutkan gelak tawanya lagi.
"Ya, ya... saya mengerti. Itu permintaan aneh, dan lebih aneh lagi, saya menurutinya. Saya harus ambil cuti dan...di sini ditertawakan orang," ucapku putus asa.
Mahmud berhenti tertawa tiba-tiba. "Oh, maaf, maaf...saya tidak menertawakan Mas. Saya hanya tak menyangka bahwa kayu itu begitu berharga bagi orang Jakarta. Itu saja. Jangan khawatir, saya akan membantu mencarikannya, jika memang sepenting itu." Dia lalu mengangkat HP-nya. Gila. Di lambung gunung seperti ini, HP-nya masih berfungsi.
Aku terdiam. Siapakah engkau, Mahmud?

***

Aku tiba-tiba diserang hawa aneh yang membuatku berubah pikiran. Ucapan Mahmud yang sungguh-sungguh itu membuatku berpikir tentang semua yang tengah kulakukan ini. Aku yang semula percaya padamu, Des, tentang syarat yang kau ajukan itu, dan itu kubuktikan dengan kesungguhanku berangkat, tiba-tiba menjadi ragu, karena setelah kupikir, mungkin ini hanya alasan penolakanmu atas lamaranku. Namun, ketika kau pun agaknya meragukan permintaanmu sendiri, sementara aku jadi kian menggebu berangkat, aku mulai bimbang dengan semua ucapanmu. Dan ketika sesampai di tempat ini, bicara dengan Mahmud, aku...ah, entahlah.
Bagaimana jika kayu itu memang kutemukan? Aneh. Gila. Nonsense.
"Ada, Mas."
"Apanya?"
"Kayunya. Mau seberapa panjang?"
Aku terdiam. Terus terang, aku tak punya kesiapan untuk itu.
"Kalau mau dimasukkan tas, ya, paling-paling 50 cm cukup, kan?"
Aku masih diam. Jadi, kayu itu memang ada dan bisa kumasukkan tasku. Ah, gila. Terus, aku harus bagaimana? Setelah kayu itu ada di tanganku dan itu mencukupi syarat perkawinan kita, Desy? Aku harus bagaimana?
"Maaf, tapi permintaan Mbak Desy memang agak langka. Soalnya, biasanya yang minta kayu itu adalah seorang dukun." ujar Mahmud sambil tersenyum, dan tangannya mencolek ikan goreng.
Dukun? Ah, skenario apalagi yang kau kembangkan untuk lakon kita, Desy?
Ahh, aku tak tahu lagi, apakah setelah berjam-jam waktuku hilang di jalan, dengan berbagai rajaman pikiran meninggalkanmu, cutiku yang terbuang sia-sia, dan kayu yang memang ada itu, kemudian..."dukun"? Aku tak tahu lagi apakah aku masih punya sisa tenaga untuk mengawinimu, Des? Terus terang aku lelah mendengar bisik-bisik yang selalu menggaung di kepalaku ini. Aku ingin berhenti. Aku ingin agar bisikan itu berhenti dan aku bisa lebih tenang menjalani sisa lakonku sendiri. ***

Sebuah Jalan

Cerita Aris Kurniawan

Jalanan sepi dan basah, kawan. Tetapi, lampu-lampu jalanan kiranya masih menyala kala itu, sehingga paras pucat perempuan itu sempat tertangkap meski tidak terlalu jelas lantaran cahaya lampu terhalang ranting akasia. Hujan sudah selesai, tetapi udara tentu saja sangat dingin. Tanpa hujan pun udara malam tetap dingin, bukan? Maafkan kalau aku kelihatan sok tahu, kawan. Kau tentu boleh tak setuju dengan bermacam ungkapan atau perumpamaan yang kubuat dalam menceritakan semua ini.

Ia meletakkan bokongnya di bangku halte dengan cemas yang deras menggerayangi perasaannya. Jemari tangannya yang lentik terawat meremas-remas sapu tangan basah yang digunakan untuk menyeka wajah dan rambutnya. Sebuah tas kecil terbuat dari kulit berwarna coklat talinya masih nyangkol di bahu, dikempit ketiaknya. Kopor hitam didekap kedua lututnya yang gemetar. Cahaya temaram menyembunyikan tubuhnya yang menggigil dibungkus jaket dan kaus hitam ketat. Kecemasan makin deras, sukar dibendung. Ia sering mengalami kecemasan. Tapi kali ini baru dialami sepanjang hidupnya.

Ia urung membakar sisa rokok yang tinggal sebatang-batangnya. Dimasukkannya kembali rokok itu ke dalam saku jaket. Taksi yang diharapkan lewat dan membawanya pergi dari tempat itu tak juga muncul. Udara dingin terasa semakin menghisap tenaga dan denyut nadinya serupa terik matahari menghisap embun di pagi hari. Ia meraba dadanya, seakan mengukur kemampuannya bertahan.

Di langit bulan direnggut lapisan awan tebal. Sisa hujan menggenang di jalan berlubang, sesekali berkilau tersiram cahaya lampu. Tak ada suara angin atau gonggongan anjing. Hanya sesekali, lamat, suara kersik daun kering yang putus dari tangkainya melayang tenang sebelum hinggap di badan jalan yang betul-betul lengang seperti kuburan.

Ia mengutuk peristiwa demi peristiwa yang dialaminya. Bukan hanya rentetan peristiwa yang beberapa jam lalu dilewatinya. Melainkan terutama peristiwa yang dialami masa kanak dan remajanya yang singkat dan muram. Ia meremas sapu tangan seakan meremas kecemasan yang terus menjalar dan menggerogoti lapis demi lapis ketegaran yang sekian lama dipupuknya. Dengan ragu-ragu dirogohnya saku jaket, mencari-cari rokok yang tadi tak jadi disulut. Ujung jemarinya menyentuh tembakau yang terburai dari kertasnya yang koyak karena gesekan dan saku jaket yang lembab.

Dibakarnya batang rokok yang koyak separuh, lantas disedotnya setengah hati. Ia membuang ludah yang terasa pahit di lidahnya. Tenggorokannya bagai terbakar, panas dan perih. Di telinganya suara nyamuk berdenging, menggigit kulitnya yang halus dan masih menyisakan harum. Tak ada kunang-kunang, membuat malam sungguh-sungguh kelam.

Pandangannya terus menyorot ke kanan sampai lehernya pegal; arah dari mana dirinya muncul tersaruk menyeret kopor. Ketegangan menyerang tubuhnya. Ia merasakan urat-urat lehernya menegang dan kaku. Taksi yang ditunggunya tak pernah muncul. Jalan itu memang tak dilintasi taksi apalagi di malam sepi dan dingin sehabis hujan seperti itu. Ia lupa, bahkan ojek pun tak berani melintas di sana. Baru kali ini ia linglung dan kehilangan akal apa yang harus diperbuatnya.

Ia mengetatkan dan menaikkan kerah jaketnya mencoba menghalau dingin. Tapi dingin tak bisa dihalau, ia telah bersekutu dengan malam dan sepi, mengundang kenangan yang berdiam dalam ingatannya. Ia serasa mendengar umpatan papa. Mendengar jeritan mama dan Ning, kakak sulungnya. Mereka berkelebatan mengurung matanya ke mana pun dibenturkan. Ia tidak pernah menemukan tempat yang benar-benar mampu menjauhkan ingatannya dari mereka dan seluruh peristiwa yang membuatnya membenci mereka. Mama dan papa seingatnya tak pernah bertemu kecuali untuk saling menumpahkan caci maki. Tak pernah dilihatnya mereka duduk bersama, bercengkerama, apalagi secara mesra mengulurkan tangan untuk dicium saat dirinya berangkat sekolah.

Ia dapat mendengar dengan jelas suara tangan papa menggampar pipi mama disertai bentakan, lantas lengkingan mama yang membuatnya terhenyak malam-malam. Disusul denting gelas dan cangkir beterbangan menghantam dinding. Kakak Ning tak pernah pulang kecuali dalam keadaan mabuk dan dipeluk seorang perempuan seusia mama. Mereka berdekapan sepanjang malam dengan pakaian separuh tanggal sambil mendesiskan suara-suara yang membuatnya mau muntah. Ia sendiri menggigil di balik pintu kamarnya. Adiknya, Riko, yang menderita autis pulas dalam pelukan tante Noah di kamar.

Ia tahu, Rikolah yang menjadi pangkal pertengkaran mereka. Papa menuduh Riko anak hasil perselingkuhan mama dengan pemuda-pemuda yang suka nongkrong di mall; bukan anak dari benihnya. Sebaliknya, mama yakin papa yang sering keluyuran malam dan bergonta-ganti pasangan yang menyebabkan Riko terlahir cacat.

Batang rokok terakhir sudah habis. Puntungnya yang masih mengepulkan asap tanpa sadar diremasnya. Sesaat ia menjerit dan terperanjat karena panas. Perlahan udara bergerak dari arah selatan tanpa suara. Wajahnya menegang lagi seperti ada anak-anak yang menariknya. Suasana makin hening. Gemeretak giginya terdengar nyaring. Ia melepas tas dari pundaknya kemudian dipeluknya. Meletakkan pipi di atasnya.

Seperti yang dilakukannya saat hatinya tiba-tiba perih direnggut rindu pada mama.
"Kamu kenapa, Revi?" tanya teman laki-lakinya melihat ia murung.
"Tidak apa-apa, Roni," jawabnya seraya menatap mata laki-laki itu.
"Kamu masih tak mempercayai aku? Hmm."
"Tidak. Kamu jangan sentimentil, Roni."

Mereka sudah cukup lama berhubungan. Ia tidak pernah mencintai seseorang seperti ia mencintai laki-laki itu. Laki-laki yang mula-mula menyerahkan penanganan urusan rambutnya. Laki-laki itu ketagihan pijatannya yang enak. Pelayanannya yang serba lembut dan menyentuh membuatnya berlangganan setiap pekan. Tentu tidak terbatas pada urusan rambut, melainkan juga perawatan kulit dan wajah. Pria metroseksual, kata orang-orang. Ia suka menatap lekat-lekat rahangnya yang kukuh, dagunya yang selalu kebiruan. Ia terpesona pada gaya bicara dan terutama suaranya yang basah dan terdengar mendesah. Maka usai dengan urusan rambut, biasanya laki-laki itu berlama-lama duduk di sana sampai malam larut oleh embun, mengobrolkan entah apa dengannya.

"Kenapa kamu memilih hidup seperti ini?" demikian laki-laki itu pernah bertanya.
"Kenapa?" perempuan itu balik bertanya.
"Pengin dengar ceritanya."
"Buat apa?"
"Namamu bagus."
"Ah."
"Bukan nama pemberian orang tuamu, kukira."

Obrolan-obrolan serupa berlanjut terus setiap laki-laki itu datang. Berceritalah dia tentang kebenciannya pada mama, papa, dan Kak Ning, juga rasa iba terkira pada kondisi Riko. Tetapi terutama pada peristiwa demi peristiwa yang membuatnya membenci mereka semua.

"Itu yang membuat kamu memilih begini?"
Perempuan itu tak menjawab. Ia teringat pada keputusan besarnya: mengkastrasi kelaminnya, mengubahnya menjadi vagina. Ia yakin benar kekeliruan itu harus diluruskan, bukan karena kebenciannya pada papa, mama dan Kak Ning yang entah sudah mati atau masih gentayangan entah di mana.

"Apakah salah."
Laki-laki itu tidak menjawab. Ia sendiri tak merasa memerlukan jawaban sebagimana ia juga tidak perlu tahu sungguhkah Roni mencintainya? Disimpan saja keraguannya itu. Ia berharap Roni sungguh-sungguh.

"Aku laki-laki, bukankah kamu perempuan?" ujar laki-laki itu seakan mengerti perasaannya.
"Hmm, aku gembira. Tapi tidakkah ini …"

Ia menepuk-nepuk telapak tangannya, membersihkan debu puntung rokok. Menelan ludahnya yang panas bagai lahar membakar lidah dan tenggorokan. Langit makin pekat. Selembar daun akasia jatuh tepat di pangkuannya. Seekor kucing tiba-tiba mendekat dan menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakinya. Di langit lapisan awan tebal tak menyisakan kerlip gemintang. Kenangan pelariannya dari rumah dengan mencuri semua perhiasan mama mendadak membayang lebih jelas. Seperti baru kemarin dia meninggalkan rumah yang dikutuknya bagai kamp penyiksaan bagi jiwanya.

Dengan percaya diri ia menjual semua perhiasan mama untuk menyewa ruko dan memulai usaha membuka salon. Ia adalah seorang yang ulet, terbukti salon yang dikelolanya tak pernah sepi pelanggan. Ia tidak perlu menjadi pengamen atau berdiri malam-malam di perempatan jalan menunggu mangsa; seperti kebanyakan kawan-kawannya.

Rupanya mama masih hidup, ia mendengar kabar mama masuk rumah sakit. Perempuan itu tak mengenalinya ketika ia menjenguknya di rumah sakit. Wajah mama nampak begitu pucat dan renta.

"Siapa kamu?" tanya tante Noah yang menjaga mama. Ia tak merasa perlu menjelaskan dirinya. Ia hanya berkata supaya mama dijaga, lantas pergi meninggalkan sekeranjang bunga dan buah-buahan. Sayup-sayup ia mendengar teriakan tante Noah memanggilnya, "Rava, Rava…" Sesunggguhnya ia ingin menghentikan langkah dan berbalik menemui mereka. Tapi keberaniannya tiba-tiba menguap entah ke mana.

Ia menelan ludah. Lamat didengarnya suara roda gerobak bakso yang didorong tergesa. Ia menggeser duduknya, mengangkat wajah melihat tukang bakso makin mendekat, dan melintas tanpa menoleh ke arahnya.

Bertahun-tahun ia tak pernah pulang. Berusaha melupakan mama, papa, Kak Ning , Riko dan semua impitan peristiwa masa kanaknya. Namun sering gagal. Semuanya selalu menguntit ingatannya. Setahun setelah peristiwa di rumah sakit, ia mendengar kabar mama meninggal. Kak Ning mengalami stres berkepanjangan, dan Riko dibuang tante Noah ke rumah panti anak-anak cacat. Papa entah ke mana.

Ia memejamkan matanya, berusaha membebaskan diri impitan ingatannya. Tetapi peristiwa lain yang menyeretnya ke tempat ini menyerbu kepalanya. Ia mendengar kabar perselingkuhan Roni dengan penari bar. Santi, karyawan setianya yang mengatakan kabar itu. Ia mendatangi hotel tempat mereka kencan. Setelah berdebat cukup alot, dengan berbelit resepsionis hotel itu memberi tahu nomor kamar mereka. Perasaannya berdebar kencang saat memijit tombol lift.

Di kamar yang dituju ia hanya mendapati seorang perempuan. Beberapa lama terjadi perang mulut. Ia sempat menampar perempuan itu. Ia ingin menuntaskan kegeramannya dengan melempar perempuan itu melalui jendela. Tapi itu tak dilakukannya, ia masih bisa menahan diri. Sebelum membanting pintu, ia mengakhiri pertengkaran dengan meletakkan mata belati yang berkilat di dada perempuan itu sambil membisikkan ancaman, "Lupakan Roni, atau ujung belati ini merobek jantungmu."

Ia melangkah pelan menyusuri karpet lorong hotel, berusaha tidak menimbulkan suara. Tiba di salonnya, ia melihat Roni sudah berdiri di sana sambil berkacak pinggang.
"Mulai malam ini, jangan campuri urusanku, waria haram jadah!"

Peristiwa berikutnya berlangsung begitu cepat. Ia menyeret laki-laki itu ke kamar, lalu dibantingnya di sana. Laki-laki itu dengan cepat bangkit menjambak rambutnya, mencekiknya, menampar kedua pipinya sangat keras, sampai bibirnya pecah. Ia limbung beberapa saat, kemudian meraih gunting di meja hias dan menusukkannya berkali-kali ke dada laki-laki itu. Setelah menyeka muncratan darah di mukanya, ia meraih pedang panjang yang selama ini menjadi hiasan di dinding. Dengan kalap memotong-motong mayat lelaki itu menjadi beberapa bagian.

Malam sudah melewati separuh perjalanannya. Perempuan itu masih di duduk di bangku halte. Mengutuk perasaannya sendiri yang begitu sentimentil. Kini ia teringat Santi. Ia memintanya tidak mengikuti dirinya. "Pergilah, Santi, jangan ikuti aku. Bawalah uang ini untuk bekal. Pergilah sejauh-jauhnya dari kota ini. Semoga semuanya akan baik-baik saja. Biar aku pergi menyusuri jalan ini sendiri. Sebab aku belum tahu tempat mana yang akan kutuju."

Hatinya bagai teriris melihat punggung karyawan setianya itu pergi membawa tangisnya yang mencekam.
Hujan turun lagi. Tiba-tiba ia merasa dirinya begitu tua, lelah dan teraniaya. Kepalanya tak kuat lagi disesaki peristiwa demi peristiwa penuh kepalsuan. Tak sanggup lagi membayangkan keluarga bahagia. Menata rambut para pelanggannya yang setia. Hidupnya terlalu sesak dengan keperihan, tak ada tempat bahkan untuk kisah cinta yang paling iseng dan sederhana. Maka tak ada lagi alasan untuk pergi dari situ. Begitu ia akhirnya memutuskan. Biarlah besok sekawanan polisi menggiringnya ke penjara.***