Kampung “B”, orang-orang disana adalah purnama di gelap gulita. Anak-anak mereka tidak mengenal anjing yang diucapkan lewat srapah,wanita-wanitanya adalah maWar-mawar tanpa duri dan memberi wangi kepada siapa pun jIka sempat lewat ke sana, lelaki-lelakinya adalah kupu-kupu warna-warni dimana mereka memperlakukan hidup seperti mereka mengisap madu tanpa memberi kesan rusak apalagi mencabik tempat yang dihinggapinya, orangtua-orangtuanya seperti sufi-sufi bijak berjubah putih. Segalanya serba sempurna. Kampung dewa-dewi, seperti di kahyangan.

Hidup mereka hanya meneruskan kebiasaan leluhurnya saja, dimana tidak ada batas pemisah antara, sungai dan gemercik air, pepohonan dan semilir angin, pesaWahan dan cicit emprit, kebun-kebun dan lompat belalang. Dimana suhah tidak ada lagi pembatas antara tanah yang mereka injak dengan kaki-kaki mungil namun santun. Berteduh di bawah pohon beringin pun, orang-orang tidak serta merta selonjor di baWahnya, tapi selalu berbisik lembut pada setiap pepohonan; ” Aku ikut Berteduh disini…”. Betul, dalam pandangan kalian hidup di kampung ”B” tampak serba ribet, namun percayalah seperti itulah inti dari kehidupan , saling percaya dan memperlakukan selain diri kita seperti memperlakukan diri sendiri.

Orang paling dituakan di kampung kaki gunung Gede itu adalah Sobri, lebih dikenal dengan sebutan Abah. Semua orang merasa ajrih kepadanya. Orang bilang Abah bisa berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur. Kesahajaan dalam hidup memang diperlihatkan abah pada mereka. Abah, lelaki berumur 102 tahun itu, selama hidupnya belum pernah menyakiti siapa pun.

Abah tinggal di sebuah gubuk sederhana yang terbuat dari bambu. Permukaan gubuk, dinding-dindingnya terlihat licin seperti dijilati. Sebuah kolam ada disana, sekeliling rumah ditumbuhi bunga, pohon melinjo, nangka, dan belimbing berdiri kokoh di belakang rumah.Di hari tertentu Abah dan orang-orang melakukan pertemuan. Mereka membicarakan hal-hal sederhana dalam kehidupan, tanpa didasari oleh peraturan-peraturan, tanpa perdebatan ketika ada pendapat yang berbeda. Saling menghormati isi kepala masing-masing.

Pada suatu hari, Abah pernah berkata.” Saatnya nanti, kita akan terusir dari sini…” Katanya, ada linangan air mata, ” Kalaupun tidak terusir , kita akan diberi pilihan, meninggalkan kejujuran dan menggantikannya deng-kepalsuan, mengoyak rasa tanggungjawab dengan saling menyalahkan, mencabik kepolosan dengan sikap sok tahu. Generasi saat itu akan dipenuhi obral janji tanpa bukti, anak-anak kita akan memburu kita.”

” Kita sebaiiknya bagaimana , Abah?” Tanya salah seorang.

” Tidak perlu memaksa diri, kita bersikap seperti saat ini saja.” Jawab Abah sederhana.

Kawan, delapan puluh tahun telah berlalu. Kampung ”B” sudah setarap dengan ibu kota Kecamatan. Ramai benar. Keramaian itu bermula ketika pemerintah mendirikan pasar mingguan di sebelah Utara kampung. Mereka mulai tidak asing lagi dengan truk, televisi, dan sepeda motor. Seorang anak pernah membawa golok dan mengancam ibunya agar dibelikan sepeda motor. Pak, Juhma kemarin kena tipu oleh orang berdasi.

Namun di tengah kebisingan itu, selalu ada ketenangan pada akhirnya, walaupun sesaat saja.

Setiap malam, kalian akan melihat beberapa orang berjubah putih duduk berkeliling di bawah rimbun dan rapatnya pepohonan. Seorang sepuh duduk di antara mereka. Saya adalah salah satu di antara mereka. Kelak jika kalian melihat, dengan mata kasar, kalian tidak akan melihat mereka sebagai orang-orang berjubah putih, kalian hanya akan melihat harimau-harimau besar, tapi percayalah , kalian tidak perlu takut, mereka tidak akan menyakiti siapa pun. Percayalah …

0 komentar: