Meditasi dengan Sebatang Rokok
( i )
menatap hidup menjadi 0,
pikiran 1: menjadi 2.
hu! rusuk-rusuk waktu: mencucuk-cucuk
batinku. "jangan berdetak!" teriak
keheningan, om, alangkah pedih menjadi
gerak, om, alangkah nikmat menikam gerak!
"pembalikan," bisik lao tse, tapi
yang kulihat kini cuma penghancuran,
siklus kepedihan dalam situs kebencian.
"seppuku!" jerit mishima, lalu
kulihat ruang-ruang memadat
menjelma katana: merobek nirwana!
("inilah keinginan," bisik sang budha).
"ha-ha-ha!" sartre tertawa, ketika
menyaksikan hatiku menjelma purnama.
"semua cuma ilusi, en-soi kepedihan
yang tak puas menuju mati!" umpatnya
sambil memandang puri bersama kafka.
tapi, dari lututku, tiba-tiba menjelma naga
(yang mendesis dan menyemburkan andromeda),
akulah cahaya!, lalu kubiarkan tubuhku
meluas menjelma semesta, menyerap black hole
dan nebula, lalu dari tengah-tengah keningku:
tu fu (penyair sunyi itu) bersenandung tentang
embun di pokok-pokok kayu atau daun-daun layu
atau warna-warni sayap kupu-kupu atau bulan dan
anggur yang membikin kaku: inikah keabadian itu?
( ii )
"kita terjebak dalam ketakpastian," gerutu
heisenberg sambil memetik mawar dikeningnya.
"tapi nasib selalu menuntut kepastian," ucap
khrisna sambil menanam mawar di keningnya.
"eureka!" jerit archimides sambil mengecup
mawar yang tumbuh dan mekar di bak mandinya.
( iii )
"mengapa manusia bisa bermimpi?" tanya bulan.
"agar berani memandang diri!" jawab matahari.
(lalu aku bermimpi tentang bulan yang terluka
dan dikunyah-kunyah matahari). "agar kematian
memiliki arti!" sahut srikandi, sambil melepas
anak panahnya. "inikah karma?" teriak bisma,
seolah geram pada kematian yang mengepungnya.
(eli! eli! yesus pun tersenyum di tiang salibnya?).
( iv )
"kuanta cahaya!" jerit planck,
sambil memandang atom-atom jiwa
bergoyang samba di pusat sunyata.
namun apa yang akan kita temukan, bila
pikiran kita selalu melingkar tanpa harapan?
"panta rei!" seru heraklitos. "bukan, kita
musti selalu selaras dalam kebaikan," ucap
mencius. sedangkan di sana, dalam kebisuan
cakrawala, zarathustra (pewarta agung itu)
tertegun menatap rahasia gelap dan terang,
kemudian tersenyum di balik bayang-bayang.
lantas di manakah letak kebebasan, bila
akhirnya kita tetap menyerah pada kebencian?
"bushido!" teriak yamamoto, lalu kulihat
ribuan lebah terbang dan menghisap
bintang-bintang -- atau kunang-kunang?
namun apakah makna pencarian, bila
ternyata hidup cuma melingkar tanpa tujuan?
"mari, marilah ke mari, hiruplah inti
rahasia diri," bujuk fichte kepada
batu-batu, kepada daun-daun layu.
lalu kulihat berjuta matahari
berlomba saling menyinari: betapa nyeri!
"hidup musti bergerak dalam penderitaan,
atau menunggu dicabik taring kepedihan!"
teriak mahavira, sambil merobek dadanya.
lalu kulihat berjuta cahaya
menggumpal jadi setetes airmata!
"perdamaian…" senandung john lenon
-- aneh, dari balik
horison (atau
puncak bukit
sion?) tiba-tiba
kulihat einstein
menggesek biola
sambil tak henti
meneteskan airmata --
("betapa mahalnya cinta?" keluh solomon).
astaga! ternyata waktu sedang bermain-main
dengan manusia: dengan kebodohan dan kata-kata.
menatap hidup menjadi 0,
pikiran 2: menjadi 1.
0 komentar:
Posting Komentar